26 June 2006

Dokter, pasien dan rekam medis

Pertama dan utama, jelas saya sangat mendukung soal hak pasien terhadap isi rekam medis.  Namun demikian, bagi saya soal ini memang tidak sederhana, sensitif dan rentan menjadi tidak-produktif.

Sejak jadi dokter muda, kemudian lulus dokter, jadi dosen muda, maka setiap kali ada yang sedang dirawat di RS, baik keluarga, teman, kenalan, saudara jauh, tetangga atau tetangganya Bapak di desa, saya sering di-jawil (diminta bantuannya). Selanjutnya saya hampir selalu ke RS, melihat kondisinya, dan - ini yang paling tricky - berusaha melihat medical-recordnya.

Di banyak kesempatan, hal itu seolah bukan hal yang istimewa. Para perawat, dokter senior maupun dokter umum yang jaga di RS, kebetulan banyak kenal. Kadang tanpa diminta pun mereka mempersilakan, meskipun saya tetap selalu lebih dahulu memperkenalkan diri apa adanya bahwa saya seorang dokter kepada para petugas RS tersebut.

Tidak jarang, kehadiran "dokter kenalan keluarga pasien" ini diambil untungnya oleh dokter yang merawat. "Tulung ya Dik, kamu saja yang menjelaskan ke keluarganya, agar bahasanya lebih enak", begitu sering terucap.

Masalahnya kemudian saya berpikir, yang saya lakukan ini boleh jadi bermaksud "baik" tetapi tidak dengan cara benar. Boleh jadi juga bisa dianggap "benar" tetapi tidak tepat. Bener nanging ora pener.

Sebenarnyalah secara yuridis saya tidak berhak membuka/mengetahui medical-record mereka, itu hak pasien dan/atau keluarga terdekatnya yang memiliki kuasa. Saya bisa membuka/mengetahui bila :

1. Pasien/keluarga memberikan kuasa kepada saya secara tertulis
2. Saya adalah bagian dari Tim dokter yang merawat pasien tersebut, atau mendapatkan kuasa dari dokter/RS yang merawatnya untuk suatu tujuan tertentu yang rasional dan layak dipertanggung jawabkan (termasuk untuk urusan pendidikan, penelitian dan kepentingan managerial RS).
3. Karena perintah pengadilan, saya ditugasi menjadi saksi ahli misalnya.

Apa yang ingin saya katakan ? Sesungguhnyalah inti dari semua itu adalah "kepercayaan".

Ketika saya pulang liburan kemarin, ternyata "membuka" medical-record itu tidak lagi semudah itu saya lakukan, kecuali ketika saya melakukannya bersama-sama dengan dokter yang merawatnya (dokter senior atau residen). Atau kadang masih bisa membuka sendiri asal di RS negeri dimana saya pernah sekolah dan bekerja.

Mengapa ? Di RS sekarang dokter makin banyak, tidak bisa lagi mengandalkan model "dulu" bahwa sesama dokter, sesama perawat saling kenal. Karena saling kenal, kemudian saling percaya. Dengan demikian, membuka medical record diterima sebagai kewajaran saja dengan saling menjaga kepercayaan.

Tetapi yang lebih esensial adalah, low-trust society yang sedang menghinggapi kita. Pendulum seolah-olah bergeser balik. Kalau dulu menganggap dokter adalah "dewa", tetapi kemudian seolah-olah dokter "harus selalu diawasi, bila perlu dicurigai". Sebaliknya pula, kalangan medis dihinggapi kekhawatiran soal tuntutan malpraktek, sehingga cenderung menutup diri dan mempersiapkan proteksi terhadap segala kemungkinan.

Berimbaslah ke soal "medical-record". Yang saya rasakan di Solo, RS menjadi lebih "protektif" terhadap medical record. Tidak sembarang orang luar - meski dia dokter sekalipun - diijinkan membuka. Langkah yang kadang dipakai, bila memang yang bertanya itu adalah dokter, dianjurkan untuk diskusi dengan dokter jaga yang sedang bertugas/dokter bangsal (biasanya dokter umum, bukan spesialis yg langsung menangani pasien). Jangan salah dibaca, bahwa "menjelaskan kondisi pasien adalah kewajiban dokter" itu jelas benar dan berlaku. Ini kita bicara dari sisi membuka rekam medis oleh "orang luar".

Masalah yang lebih luas, bagaimana kalau kita balik ? Beberapa kali di media ada berita, "pasien menggugat" dan menceritakan apa-apa yang telah dijalaninya di RS, seringkali dengan menunjukkan foto-copy dari isi rekam medis. Apakah berarti dokter juga boleh sebaliknya membuka di media "apa-apa yang ditemukan pada pemeriksaan dan tindakan yang telah dilakukan terhadap pasien" ? Bukankah dokter berkewajiban menyimpan rahasia pasien, bahkan meskipun pasien sudah meninggal ?

Pada akhirnya, saya ingin mengajak. Hubungan dokter-pasien adalah soal "saling percaya". Dokter tidak boleh sembarangan menyalahgunakan kepercayaan yang telah diberikan pasien. Sebaliknya, pasien juga tidak selayaknya mengedepankan pikiran curiga terhadap apa-apa yang dilakukan dokternya. Mari kita gunakan hak kita atas rekam medis ini - baik bagi dokter maupun pasiennya - untuk sebesar-besar keuntungan pasien.

Jangan sampai rekam medis seolah-olah berubah fungsi menjadi "tameng" bagi dokternya, dan "senjata" bagi pasiennya. Dan muara dari itu semua adalah : kesehatan pasien, jauh lebih besar daripada sekedar "menghindari malpraktek".

Menjadi "smart patient" bagi saya lebih pada kualitas berbagi informasi dan keputusan, bukan pada kemampuannya "mengawasi dan menilai" kinerja dokter.

6 comments:

Anonymous said...

Mo nanya Dok,

Klo pasien ganti dokter atau pindah dokter, bisa tidak pasien meminta hasil rekam medisnya untuk ditransfer ke dokter lain?

Thanks

Anonymous said...

Kalau ganti dokter cukup minta Resumenya saja.

Anonymous said...

salam kenal pak dokter
saya lagi bikin tugas TA, judunya EMR (electronic medical record)
saya minta bantuan dong
klo front sheet biasanya isinya apa aja??
klo dokter pake PDA, tampilan seperti apa yang cocok untuk seorang dokter?

thx

email: gharzen_007@yahoo.com

Anonymous said...

salam hormat dok.

menilik dari permenkes 749 th 1989 pasal 10
1. berkas rekam medis milik sarana pelayanan kesehatan
2. isi berkas rekam medis milik pasien.

ada sekarang ini berkembang di masyarakat yang mengatakan "katanya rekam medis adalah milik pasien"
kl gitu pasien boleh minta dong. setelah diberkan resumenya timbul pertanyaan baru, lho kok cuman ini, yang segebok itu apa, bukankahn itu juga rekam medis.
bila itu rekam medis mengapa kok tidak boleh diminta salinannya (catatan perawat, catatn dokter, daftar terapi, balance cairan, observasi dll)
bila dijelaskan bahwa milik pasien adalah "ISI BERKAS REKAM MEDIS" yang sudah tertuang dalam resume medis. pertanyaannya sejauh mana intepretasi dari ISI berkas rekam medis tersebut. apa yang dimaksud isi berkas rekam medis.
dokter/RS sebagai pemilik memang berhak memberikan atau menolak permintaan dari apa yang dimilikinya. namun hal itu akan terus dikejar dengan pertanyaan berikut "memang berkasnya milik sarana pelayanan kesehatan, namun mengapa (bila pasien sendiri yang meminta & secara tertulis) unutk meminta salinannya saja juga tidak diberikan, mengapa cuman resume, apakah ada yang disembunyikan? logikanya bila semuanya berjalan dan dikerjakan dengan benar, secara nalar tidak ada yang perlu ditakutkan oleh pihak sarana pelayanan, atas permintaan ter sebut. bila kita terlalu menutupi, malah dipikir atau timbul dugaaan bahwa memang ada yang disembunyikan, dari dokter atau rumah sakit terhadap pasiennnya. Bagaimana tanggapan dokter?


franswijaya@yahoo.com

Anonymous said...

-OOT-Gimana pendapat dokter/rekans yg lain tentang rekam medis yg terkomputerisasi?kayaknya bakal jadi simbiosis mutualisme antara pasien dan dokter,dokter lebih cepat menemukan berkas rekam medik pasien,tidak memakan banyak tempat utk menyimpannya-pasien automatic mendapat pelayanan yg lebih cepat?barusan nemu contohnya di http://realians.com/rm atau http://rekam-medik.blogspot.com

Anonymous said...

salam hangat, dok.
menarik sekali membaca tulisan anda. dan intinya saya juga setuju dengan anda. butuh "kepercayaan" antara dokter (rumah sakit) dengan pasien. pertanyaannya adalah seberapa pantas dokter / rumah sakit layak dipercaya? pasien dalam hal ini dalam posisi yang "lemah" secara kondisi maupun informasi.

semoga banyak dinegeri ini, dokter-dokter seperti anda.
oh ya, mungkin tulisan ini anda sudi membaca tulisan ini : http://rumahpasien.wordpress.com/2007/10/03/apa-hak-pasien/

salam hangat,
masarie