14 August 2006

Data Alumni Kedokteran UNS

Mohon maaf ya, saya ingin minta tolong. Saat ini kami (saya dan teman-teman di Kedokteran UNS) membutuhkan data alumni. Yang dibutuhkan paling tidak nama, alamat, no telp dan email. Tentu saja, segala data tersebut akan dijaga kerahasiaannya.

Karena itu, kalau teman-teman kebetulan mengenal, bertemu atau bahkan Anda sendiri adalah alumni dari Fakultas Kedokteran UNS (angkatan berapapun), mohon kiranya mengirimkan informasinya kepada saya melalui email:

Tonang Dwi Ardyanto (masuk UNS 1993)
tonang.ardyanto@gmail.com
http://tonangardyanto.com
http://uns.tonangardyanto.com

Data tersebut sangat berguna dalam usaha kami merapikan manajemen baku mutu eksternal. Salah satunya adalah dengan mengelola data alumni, menganalisa waktu tunggu kerja setelah lulus dan data kepuasaan pemakai SDM lulusan. 

Terima kasih sebelumnya atas perhatian dan kerjasamanya.

Tonang

08 August 2006

UNS memilih rektor

Sejak sekitar 2 minggu terakhir, saya mengamati dengan seksama proses pemilihan rektor di UNS. Saya merasa harus terlibat, karena ini demi UNS. Sebagai alumni, sebagai staf pengajar, saya merasakannya sebagai kewajiban.

Untuk itu, saya memberanikan diri membuka situs tersendiri untuk. Kalau kebetulan ada alumni UNS, warga UNS baik staf pengajar, mahasiswa maupun karyawan, atau masyarakat yang peduli terhadap UNS, silakan ikut berpartisipasi. Kritik, saran, pendapat, atau sekedar "titip salam" untuk rektor UNS, semua dipersilakan. Mari kunjungi situs pilrekuns.com.

Salam UNS!

24 July 2006

Tentang Nadine, Miss Indonesia ...

Sebenarnya pengin kemarin-kemarin nulis ini, tapi nggak sempat juga. Kita tahu kemarin sempat ramai soal video wawancara Nadine. Di rekaman itu, terlihat memang bahasa Inggris Miss Indonesia ini ada kekurangan.

Selanjutnya banyak kritik bermunculan, sebaliknya banyak juga yang "membela"nya: kan grogi, kan dia berani maju, kan yang ngritik juga nggak lebih baik. Sampai-sampai kemarin di kompas online ada yang menulis: "Tanya diri Anda, apakah Anda cantik, ganteng, pintar, kaya, bisa ini, bisa itu. Kalau salah satu saja tak terpenuhi, mbok mulutnya dibungkam saja".

Hmm, tulisan itu jadinya lucu menurut saya. Ingin mengritik para pengritik Nadine, tetapi sebaliknya menggunakan pola yang sama dengan yang ingin dikritiknya.

Saya ingat, setiap kali ada pertandingan bulutangkis All England, Thomas atau Sudirman, Bapak saya paling semangat menyaksikan. Sering terjadi Bapak teriak keras sambil gebrak meja (sekedar contoh): "Gimana sih Taufik ini, sudah menang set pertama kok terus lemes, nyerah gitu, harus semangat dong! Sudah ganti saja dengan yang lain".

Yang seperti Bapak begini saya yakin nggak sedikit. Padahal, dari sekian ribu orang yang seperti Bapak saya itu, saya yakin 99,99% tidak ada yang bisa bermain bulutangkis lebih baik daripada Taufik. Berarti mereka nggak boleh "neriakin" Taufik?

Saya ambil contoh Taufik agar sekalian ekstrem. Soalnya, boleh jadi ada yang bilang: sebenarnya mencari yang cantik, postur tubuh dan ke-bule-bule-an seperti Nadine sih nggak sulit juga. Karena itu, apa nggak boleh "neriakin" Nadine?

Sebenarnya dibalik teriakan kecewa itu, ada kata-kata tersembunyi: "nggak rela kalau Indonesia dibela dengan penampilan seperti itu". Bukan mereka merasa lebih baik, lebih pinter, tetapi itu ekspresi kecintaan dan kepedulian mereka terhadap nama Indonesia.

Lebih dari itu, dalam diri kita masing-masing, sebenarnya tersimpan juga potensi "diteriakin" seperti itu. Contoh yang gampang, saya sendiri saja.

Sekarang saya sedang di negeri orang. Saya datang sebagai pribadi, tidak dalam kibaran ".... Indonesia" misalnya. Bahwa saya selengekan misalnya, itu tidak lantas berarti orang Indonesia itu seenaknya sendiri. Tetapi mau nggak mau saya harus terima, harus sadar, bahwa penilaian seperti itu bisa muncul kalau saya tidak mau tertib antri saat mau bayar belanjaan di kasir.

Sebaliknya, hanya karena saya rada-rada lancar ngomong pakai bahasa Inggris, orang-orang di sekeliling saya suka komentar "Wah, orang Indonesia pinter ya berbahasa Inggris, nggak seperti kita orang Jepang". Padahal kita tahu sendiri, tidak demikian kenyataannya.

Itu baru "sekelas" saya. Kalau kelasnya Nadine yang Miss Indonesia, tentu sangat jauh bedanya. Memang, beban di pundaknya berat, tetapi lebih dari itu, dia juga bisa membawa penilaian positif tentang Indonesia dengan dampak jauh lebih besar daripada yang bisa saya lakukan.

Jadi, kalau Nadine dikritik habis-habisan gara-gara wawancara bahasa Inggris tersebut, sudah biasa, sudah sewajarnya. Dan kita tidak perlu terburu-buru berapologi: kan dia grogi di even internasional, kan memang bahasa Inggris bukan bahasa kita, kan toh dia punya banyak kelebihan lain dan banyak lagi.

Kalau mikir beban, Presiden Republik Indonesia itu lebih berat lagi bebannya. Apakah lantas dia juga boleh seenaknya berapologi?

Yang saya sepakati dari kritik atas kritikan terhadap Nadine, begini ceritanya. Kalau kita yang "orang biasa", tentu lebih mudah mengkritik Taufik. Tetapi bagi pemain bulutangkis, pasti lebih menahan diri untuk berkomentar. Karena itu, mari kita sampaikan kritik itu dengan kemasan yang lebih renyah.

Bagi saya sendiri, penampilan Nadine pada wawancara tersebut menunjukkan dia dan tim pendukungnya tidak membuat persiapan yang cukup. Pertanyaan pada wawancara itu sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Tahun lalu, video wawancara Artika juga kita lihat. Karena itu, seharusnyalah mereka bisa membuat persiapan yang matang. Dan kekecewaan karena persiapan tidak matang padahal membawa nama Indonesia inilah yang sebenarnya memicu kritik banyak pihak.

Terakhir saya baca dalam sesi wawancara dengan juri, akhirnya Nadine menggunakan jasa penerjemah (orang Indonesia juga yang lama tinggal di California). Saya kira langkah ini justru lebih baik, daripada mengulangi kesalahan sebelumnya. Bahwa mau tidak mau harus diakui bahwa itu menunjukkan satu kekurangan, tetapi masih lebih baik daripada harus menunjukkannya karena memaksa diri tampil kurang persiapan.

Kembali ke Bapak saya. Meski seberapapun kecewanya, setelah menggebrak meja, Bapak saya akan tetap setia di depan televisi, setia mengamati jalannya pertandingan sampai menit terakhir, bahkan ketika Indonesia harus benar-benar kalah sekalipun. Tangannya tetap saling menggenggam erat, mulutnya tetap komat-kamit berdoa: semoga Indonesia tetap menang.

Dan ketika dengan susah payah Indonesia akhirnya berhasil menang, Bapak saya akan berdiri tegak sambil berlinang air mata saat Indonesia Raya diperdengarkan.

Hal itulah yang saya merasa belum ada apa-apanya dibandingkan Bapak saya (dan kemungkinan juga banyak para pengritik lainnya): rasa cintanya terhadap Indonesia!

Semoga Nadine tampil maksimal demi nama Indonesia.

22 July 2006

Selamat Pak Totok!

Baru saja, saya mendapatkan email dari seorang senior di UNS. Beliau dari Fakultas ISIP, yang kebetulan juga sedang menduduki jabatan Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan di Universitas Sebelas Maret.

Berawal dari komunikasi beberapa waktu lalu, tulisan beliau telah diterima untuk diterbitkan di Asia Europe Journal. Memang versi cetaknya masih harus menunggu, tetapi untuk versi online sudah bisa didapatkan di http://dx.doi.org/10.1007/s10308-006-0078-y (harus berlangganan).

Bagi yang kebetulan tidak berlangganan journal dimaksud, silakan download tulisan Pak Totok tersebut dengan mengklik judulnya berikut ini:

"Javanese culture as the source of legitimacy for Soeharto’s government"

Sebagai mantan mahasiswanya, sebagai dosen yunior, sebagai sejawat, sebagai bagian dari UNS, sebagai yang senang membaca tulisannya di media massa, saya sangat senang dengan kabar gembira ini.

Selamat Pak Totok! Saya sangat menunggu kesempatan mendengar kabar gembira dari Pak Totok selanjutnya.

Salam UNS!

Akhirnya ....

Lama nian saya tidak sempat membuka lagi blog ini. Bukan beta tak ingin jumpa, tetapi apadaya waktu tidak tersedia ....

Maaf ya, saya lama sekali tidak memberikan respon terhadap blog ini. Kebetulan, minggu kemarin saya harus menghadapi ujian akhir. Tidak bisa tidak, saya harus memaksa diri untuk puasa dari internet, email, milis, dan termasuk blog ini. Saat ini pun saya masih harus kerja keras menyelesaikan final report, di samping berusaha menggunakan waktu yang efektif tersisa hanya 2 bulan ini sebelum pulang.

Karena itu, kepada yang telah banyak memberkan perhatian, semoga tidak terlalu kecewa. Karena setelah inipun saya tidak bisa berjanji banyak. Semoga saja ya.

Terima kasih semuanya.

29 June 2006

Taufiq Ismail: tuhan Sembilan Senti

(Saya tertegun membaca kiriman teman berisi puisi Taufiq Ismail ini. Semoga menjadi bahan renungan bagi kita.)

tuhan Sembilan Senti

Oleh: Taufiq Ismail

Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok,

Di sawah petani merokok, di pabrik pekerja merokok, di kantor pegawai merokok, di kabinet menteri merokok, di reses parlemen anggota DPR merokok, di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok, hansip-bintara-perwira nongkrong merokok, di perkebunan pemetik buah kopi merokok, di perahu nelayan penjaring ikan merokok, di pabrik petasan pemilik modalnya merokok, di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok,

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na'im sangat ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,

Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok, di ruang kepala sekolah ada guru merokok, di kampus mahasiswa merokok, di ruang kuliah dosen merokok, di rapat POMG orang tua murid merokok, di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya apakah ada buku tuntunan cara merokok,

Di angkot Kijang penumpang merokok, di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk orang bertanding merokok, di loket penjualan karcis orang merokok, di kereta api penuh sesak orang festival merokok, di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok, di andong Yogya kusirnya merokok, sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok,

Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok,
tapi tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok,

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita,

Di pasar orang merokok, di warung Tegal pengunjung merokok, di restoran di toko buku orang merokok, di kafe di diskotik para pengunjung merokok,

Bercakap-cakap kita jarak setengah meter tak tertahankan abab rokok, bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun menderita di kamar tidur ketika melayani para suami yang bau mulut dan hidungnya mirip asbak rokok,

Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul saling menularkan HIV-AIDS sesamanya, tapi kita tidak ketularan penyakitnya. Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya mengepulkan asap rokok di kantor atau di stopan bus, kita ketularan penyakitnya. Nikotin lebih jahat penularannya ketimbang HIV-AIDS,

Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia,
dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu, bisa ketularan kena,

Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok, di apotik yang antri obat merokok, di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok, di ruang tunggu dokter pasien merokok, dan ada juga dokter-dokter merokok,

Istirahat main tenis orang merokok, di pinggir lapangan voli orang merokok, menyandang raket badminton orang merokok, pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok, panitia pertandingan balap mobil, pertandingan bulutangkis, turnamen sepakbola mengemis-ngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok,

Di kamar kecil 12 meter kubik, sambil 'ek-'ek orang goblok merokok, di dalam lift gedung 15 tingkat dengan tak acuh orang goblok merokok, di ruang sidang ber-AC penuh, dengan cueknya, pakai dasi, orang-orang goblok merokok,

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na'im sangat ramah bagi orang perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita,

Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh, duduk sejumlah ulama terhormat merujuk kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa. Mereka ulama ahli hisap. Haasaba, yuhaasibu, hisaaban. Bukan ahli hisab ilmu falak, tapi ahli hisap rokok. Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip berhala-berhala kecil, sembilan senti panjangnya, putih warnanya, ke mana-mana dibawa dengan setia, satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya,

Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang, tampak kebanyakan mereka memegang rokok dengan tangan kanan, cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri. Inikah gerangan pertanda yang terbanyak kelompok ashabul yamiin dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?

Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu. Mamnu'ut tadkhiin, ya ustadz. Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz. Kyai, ini ruangan ber-AC penuh. Haadzihi al ghurfati malii'atun bi mukayyafi al hawwa'i. Kalau tak tahan, di luar itu sajalah merokok. Laa taqtuluu anfusakum.

Min fadhlik, ya ustadz. 25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan. 15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan. 4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?

Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuharrimu 'alayhimul khabaaith. Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah dahulu, sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok.

Jadi ini PR untuk para ulama. Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok, lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan, jangan,

Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini. Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu, yaitu ujung rokok mereka. Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir. Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap, dan ada yang mulai terbatuk-batuk,

Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini, sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati karena penyakit rokok. Korban penyakit rokok lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas, lebih gawat ketimbang bencana banjir, gempa bumi dan longsor, cuma setingkat di
bawah korban narkoba,

Pada saat sajak ini dibacakan, berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa di negara kita, jutaan jumlahnya, bersembunyi di dalam kantong baju dan celana, dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna, diiklankan dengan indah dan cerdasnya,

Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri, tidak perlu ruku' dan sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini, karena orang akan khusyuk dan fana dalam nikmat lewat upacara menyalakan api dan sesajen asap tuhan-tuhan ini,

Rabbana, beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.

26 June 2006

Dokter, pasien dan rekam medis

Pertama dan utama, jelas saya sangat mendukung soal hak pasien terhadap isi rekam medis.  Namun demikian, bagi saya soal ini memang tidak sederhana, sensitif dan rentan menjadi tidak-produktif.

Sejak jadi dokter muda, kemudian lulus dokter, jadi dosen muda, maka setiap kali ada yang sedang dirawat di RS, baik keluarga, teman, kenalan, saudara jauh, tetangga atau tetangganya Bapak di desa, saya sering di-jawil (diminta bantuannya). Selanjutnya saya hampir selalu ke RS, melihat kondisinya, dan - ini yang paling tricky - berusaha melihat medical-recordnya.

Di banyak kesempatan, hal itu seolah bukan hal yang istimewa. Para perawat, dokter senior maupun dokter umum yang jaga di RS, kebetulan banyak kenal. Kadang tanpa diminta pun mereka mempersilakan, meskipun saya tetap selalu lebih dahulu memperkenalkan diri apa adanya bahwa saya seorang dokter kepada para petugas RS tersebut.

Tidak jarang, kehadiran "dokter kenalan keluarga pasien" ini diambil untungnya oleh dokter yang merawat. "Tulung ya Dik, kamu saja yang menjelaskan ke keluarganya, agar bahasanya lebih enak", begitu sering terucap.

Masalahnya kemudian saya berpikir, yang saya lakukan ini boleh jadi bermaksud "baik" tetapi tidak dengan cara benar. Boleh jadi juga bisa dianggap "benar" tetapi tidak tepat. Bener nanging ora pener.

Sebenarnyalah secara yuridis saya tidak berhak membuka/mengetahui medical-record mereka, itu hak pasien dan/atau keluarga terdekatnya yang memiliki kuasa. Saya bisa membuka/mengetahui bila :

1. Pasien/keluarga memberikan kuasa kepada saya secara tertulis
2. Saya adalah bagian dari Tim dokter yang merawat pasien tersebut, atau mendapatkan kuasa dari dokter/RS yang merawatnya untuk suatu tujuan tertentu yang rasional dan layak dipertanggung jawabkan (termasuk untuk urusan pendidikan, penelitian dan kepentingan managerial RS).
3. Karena perintah pengadilan, saya ditugasi menjadi saksi ahli misalnya.

Apa yang ingin saya katakan ? Sesungguhnyalah inti dari semua itu adalah "kepercayaan".

Ketika saya pulang liburan kemarin, ternyata "membuka" medical-record itu tidak lagi semudah itu saya lakukan, kecuali ketika saya melakukannya bersama-sama dengan dokter yang merawatnya (dokter senior atau residen). Atau kadang masih bisa membuka sendiri asal di RS negeri dimana saya pernah sekolah dan bekerja.

Mengapa ? Di RS sekarang dokter makin banyak, tidak bisa lagi mengandalkan model "dulu" bahwa sesama dokter, sesama perawat saling kenal. Karena saling kenal, kemudian saling percaya. Dengan demikian, membuka medical record diterima sebagai kewajaran saja dengan saling menjaga kepercayaan.

Tetapi yang lebih esensial adalah, low-trust society yang sedang menghinggapi kita. Pendulum seolah-olah bergeser balik. Kalau dulu menganggap dokter adalah "dewa", tetapi kemudian seolah-olah dokter "harus selalu diawasi, bila perlu dicurigai". Sebaliknya pula, kalangan medis dihinggapi kekhawatiran soal tuntutan malpraktek, sehingga cenderung menutup diri dan mempersiapkan proteksi terhadap segala kemungkinan.

Berimbaslah ke soal "medical-record". Yang saya rasakan di Solo, RS menjadi lebih "protektif" terhadap medical record. Tidak sembarang orang luar - meski dia dokter sekalipun - diijinkan membuka. Langkah yang kadang dipakai, bila memang yang bertanya itu adalah dokter, dianjurkan untuk diskusi dengan dokter jaga yang sedang bertugas/dokter bangsal (biasanya dokter umum, bukan spesialis yg langsung menangani pasien). Jangan salah dibaca, bahwa "menjelaskan kondisi pasien adalah kewajiban dokter" itu jelas benar dan berlaku. Ini kita bicara dari sisi membuka rekam medis oleh "orang luar".

Masalah yang lebih luas, bagaimana kalau kita balik ? Beberapa kali di media ada berita, "pasien menggugat" dan menceritakan apa-apa yang telah dijalaninya di RS, seringkali dengan menunjukkan foto-copy dari isi rekam medis. Apakah berarti dokter juga boleh sebaliknya membuka di media "apa-apa yang ditemukan pada pemeriksaan dan tindakan yang telah dilakukan terhadap pasien" ? Bukankah dokter berkewajiban menyimpan rahasia pasien, bahkan meskipun pasien sudah meninggal ?

Pada akhirnya, saya ingin mengajak. Hubungan dokter-pasien adalah soal "saling percaya". Dokter tidak boleh sembarangan menyalahgunakan kepercayaan yang telah diberikan pasien. Sebaliknya, pasien juga tidak selayaknya mengedepankan pikiran curiga terhadap apa-apa yang dilakukan dokternya. Mari kita gunakan hak kita atas rekam medis ini - baik bagi dokter maupun pasiennya - untuk sebesar-besar keuntungan pasien.

Jangan sampai rekam medis seolah-olah berubah fungsi menjadi "tameng" bagi dokternya, dan "senjata" bagi pasiennya. Dan muara dari itu semua adalah : kesehatan pasien, jauh lebih besar daripada sekedar "menghindari malpraktek".

Menjadi "smart patient" bagi saya lebih pada kualitas berbagi informasi dan keputusan, bukan pada kemampuannya "mengawasi dan menilai" kinerja dokter.

21 June 2006

Obat bebas, obat keras ...

Sehari-hari kita sering melihat berbagai jenis obat dijual. Kadang kita juga membeli obat sendiri, kadang setelah mendapat resep dokter. Ada beberapa istilah yang sering kita temui seperti obat bebas, obat keras, psikotropika ... apa sih itu?

Pertama, obat bebas, atau istilahnya OTC (Over-the Counter). Kelompok ini bisa dibeli tanpa resep dokter. Di banyak tempat lain, adanya obat bebas saja. Di Indonesia, dibagi dua lagi:
a. Obat bebas: pada kemasannya ada logo lingkaran berwarna hijau
bergaris pinggir hitam. Obat ini bisa dibeli atau artinya boleh dijual mulai dari warung obat, tidak hanya di apotik. Biasanya ini isinya vitamin dan semacamnya.
b. Obat bebas terbatas: pada kemasannya ada logo lingkaran berwarna biru. Obat ini tidak boleh dijual di warung obat, hanya di apotik. Kenapa disebut "terbatas" karena ada batasan jumlah dan kadar isinya yang perlu perhatian. Makanya biasanya suka ada tanda "P" (Perhatian) juga dalam labelnya. Contoh paling gampang: obat flu.

Label "P" ini juga ada beberapa macam:
P.No. 1: Awas! Obat keras. Bacalah aturan pemakaiannya.
P.No. 2: Awas! Obat keras. Hanya untuk bagian luar dari badan.
P.No. 3: Awas! Obat keras. Tidak boleh ditelan.
P.No. 4: Awas! Obat keras. Hanya untuk dibakar.
P.No. 5: Awas! Obat keras. Obat wasir, jangan ditelan

Soal apotik, warung obat, ini ada aturan resminya SK Menkes 10272004. Kalau tahu ada yang jual obat lingkaran biru (inget, obat lho ini bukan kontrasepsi) di warung obat apalagi warung umum, kita jangan ikut-ikutan beli, nggak rasional dong. Justru kita ingatkan bahwa seharusnya nggak begitu cara jualnya. Tentu aturan pembedaan ini ada tujuannya, bukan sekedar soal untung-rugi yang jual saja.

Seperti sering disebutkan, kita boleh menggunakan obat bebas tanpa resep dokter, bila memang diperlukan. Ciri umum obat bebas adalah bersifat simptomatik. Kita tentu harus paham betul, yang diobati bukan (hanya) gejalanya, tetapi penyebabnya.

Meskipun demikian, bila memang gejala flu itu misalnya begitu berat, daripada tergesa-gesa pakai antibiotika yang mungkin tanpa guna, harus ke dokter atau apalagi beli AB sendiri,
mendhing cukup dengan obat bebas dulu. Kalau tidak mempan baru terpaksa ke dokter.

Ketika membeli obat bebas/bebas terbatas ini, pastikan baik-baik hal-hal seperti: kemasan masih rapi tidak ada cacat mencurigakan, tanggal kadaluwarsa belum terlewati, dan yang paling penting perhatikan benar-benar isi dari keterangan yang ada pada labelnya. Mulai dari indikasi, kontra-indikasi, perhatian, efek samping sampai ke cara makan dan dosisnya.

Prinsip sederhananya, pakai sesuai petunjuk dalam label, jangan lebih dari 1 kemasan. Kalau tetap belum membaik juga, hehehe ... ingat pesen Bang Dedy Mizwar: Bila sakit berlanjut, hubungi dokter!

Berikutnya adalah golongan obat keras, tandanya pada kemasan ada label lingkaran merah dengan huruf K di tengahnya. Untuk mendapatkannya harus dengan resep dokter. Dulu disebut "obat daftar G" (dari kata gevaarlijk: berbahaya). Yang termasuk kelompok ini terutam adalah antibiotika dan obat-obat berisi hormon (obat anti diabetes, obat untuk gangguan jantung, obat anti-kanker, obat untuk pembesaran kelenjar tiroid, obat gangguan pertumbuhan, dan sebagainya).

Keharusan menggunakan resep dokter ini disebut kelompok obat "etikal" (ethical), sebagai lawan dari OTC.

Di samping golongan obat keras, ada juga yang harus menggunakan resep dokter, yaitu kelompok obat psikotropika. Obat kelompok psikotropika adalah zat/obat yang dapat menurunkan aktivitas otak atau merangsang susunan syaraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku, disertai dengan timbulnya halusinasi (mengkhayal), ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan alam perasaan dan dapat menyebabkan ketergantungan (adiksi) serta mempunyai efek stimulasi (merangsang) bagi para pemakainya.

Contoh yang gampang adalah golongan narkotika dan amfetamin (ectasy, sabu-sabu, dan kawan-kawannya). Termasuk juga yang sering di salah gunakan adalah obat anti depressan (seperti diazepam, clobazam, lithium), obat anti ansietas (seperti benzodiasepin, alprazolam) atau anti-psikotik (seperti chlorpromazine, haloperidol).

Pemanfaatan kelompok psikotropika diatur dengan UU no 5/1997. Intinya, obat ini digunakan harus di bawah pengawasan dokter, dengan indikasi medis, bukan untuk tujuan lain. Karena itu, jelas belinya harus pakai resep. Bahkan dalam meresepkan obat psikotropika, dokter pun ada etika tersendiri, seperti memberikan dalam dosis terkecil, waktu tersingkat, jumlah terbatas (menghindari penyalah gunaan) dan ada pencegahan terhadap withdrawal syndrome (efek buruk ketika pemberian obat dihentikan).

Silakan berbelanja obat secara rasional ...

Obat generik, obat bermerk, obat paten ... (1)

Ada berita menarik bahwa harga obat generik bermerk akan turun mulai 1 Juli 2006. Diharapkan harga obat akan makin terjangkau. Tetapi pernah bingung nggak, apa sih bedanya? Ada obat generik, obat bermerk, obat paten, obat keras .... Mari coba kita pelajar bersama-sama.

Obat dibuat dari bahan-bahan tertentu, yang setelah diteliti sekian lama, ditemukan "zat inti berkhasiat terapetik". Zat ini yang secara umum disebut "generik". Setelah disetujui oleh otoritas kesehatan, dari bahan generik ini, bisa dibuat "obat generik".

Tetapi kan untuk penelitian butuh dana besar sekali, waktu lama bertahun-tahun wong sebenarnya standar etikanya berat sekali. Karena itu, perusahaan yang menemukannya mendapatkan hak paten selama 20 tahun. Dalam kurun waktu tersebut, tidak boleh ada
perusahaan lain yang memproduksi obat dari bahan generik yang sama. Karena itu, obat-obat temuan baru atau yang relatif baru, masih dalam masa paten, belum ada produksi "obat generik"nya. Yang beredar adalah merk dagang dari perusahaan pemegang paten.

Misalnya, obat-obat terapi untuk pengelolaan kadar lipid darah atau hipertensi dengan gangguan jantung/ginjal (golongan statin), banyak dimunculkan bahan generik baru. Akibatnya, relatif sukar ditemukan produk obat generiknya. Begitu juga obat untuk gangguan lambung dan saluran cerna, dari semula kita kenal sekali "antacid", sekarang sudah banyak ragamnya (artinya bahan generiknya sudah bukan hanya antacid lagi).

Yang kadang salah kaprah, kita suka bilang: ini obat paten. Sebenarnya, yang ada di pasaran itu hanya obat bermerk dagang atau obat generik. Istilah "paten" itu hanya soal hak paten seperti penjelasan sebelumnya. Yang sering salah disebut "obat paten" adalah produk MNC (Multi National Company). Sebenarnya tidak semua obat yang dipasarkan oleh orang bule
itu masih dalam kerangka paten. Jadi itu merk dagangnya saja.

(Sayang memang, kita masih harus bersedih bahwa hampir semua obat yang ada di pasaran, bahan baku atau malah build-up product-nya masih harus diimpor. Mari sama-sama kita doakan ada dokter yang jadi Presiden - kalau Doktor kan sudah - biar yang begini segera dapat perhatian ya).

Kalau masa paten sudah terlewati, maka semua perusahaan boleh memproduksi obat dari bahan generik tersebut, dengan berbagai teknik produksi maupun pengemasan, jadilah obat bermerk dagang. Jumlah merk dagang dari satu jenis bahan generik, bisa bermacam-macam, bisa sampai puluhan bahkan ratusan.

Namanya usaha dagang, ya tentu harus ada margin of interest kan. Karena itu, produksi generik sebenarnya tanggung jawab pemerintah, melalui BUMN. Obat generik ini bisa dipasarkan dalam bentuk tanpa bungkus/kemasan/logo, seperti beberapa yang kita lihat di RS/puskesmas. Bisa juga dalam kemasan dari BUMN (perusahaan ini juga bisa memproduksi
merk dagang).

Jadi, kalau sampai kita tidak bisa mendapatkan obat generik, itu alasannya 2:
1. Memang masih dalam masa paten, belum bisa diproduksi.
2. Pemerintah belum sanggup menyediakan
(alasan ketiga yang tidak boleh terjadi: apotik tidak punya stock).

Tetapi sebenarnya perusahaan swasta juga bisa ikut memproduksi kemasan obat generik. Biasanya adalah obat-obat yang sering digunakan pada kasus-kasus kesehatan sehari-hari (kelompok ini sering disebut obat essensial). Tentu dalam hal ini ada perhitungan bisnis tersendiri, termasuk melihat tren perkembangan pola penyakit.

Bisa juga ada kondisi khusus seperti terjadinya wabah global, bisa saja perusahaan farmasi besar ikut serta membuat produksi massal obat generik (yah itung-itung kan bagian dari Corporate Social Responsibility).

Produksi obat generik dari perusahaan swasta ini diberi tanda logo/nama perusahaan swasta pembuatnya, "obat generik berlogo" atau "obat generik bermerk". Nah, kelompok inilah yang berita tersebut akan turun harganya mulai 1 Juli 2006 nanti.

(Dari adanya dwi-produksi ini, ada suara bahwa perusahaan farmasi kadang harus main subsidi silang, agar obat generik tetap murah, meskipun risikonya obat bermerk jadi mahal. Saya tidak bisa mengkonfirmasi, karena tidak cukup pengalaman di bidang ini).

Kita belajar saja yang sering kita temui sehari-hari.

Contoh obat generik yang sering kita lihat: paracetamol, gliserilguaiakolat, dekstrometorfan, difenhidramin, chlorpheniramin maleat, amoksisilin, eritromisin, gentamisin, dan banyak lagi (Jangan-jangan malah terasa begitu asing ya di telinga kita?).

Di pasaran, di samping produk generik, dari bahan generik ini dijual sebagai merk dagang dengan berbagai nama pula. amoksisilin misalnya, katanya lebih dari 100 merk dagang yang ada. Pasti malah lebih sering mendengar merk: Amoxan, Abdimox, Amoxil, Bellamox, Dexymox, Ethimox, Farmoxyl, ...

Pertanyaannya, kalau sudah lepas paten, sudah ada produk generiknya, mengapa masih ada merk dagang? Ada beberapa hal, dalam pandangan saya:

Soal cari untung, saya nggak komentar, wong rejeki orang kok diutak-utik, pamali katanya kan hehehe ...

Ilmu pengetahuan terus berkembang, sekarang pun usaha menemukan obat baru tetap berjalan. Inti temuan baru bisa benar-benar baru, atau memperbaiki yang sudah ada. Yang benar-benar baru mungkin lebih mudah dipahami. Kita bahas yang bertujuan memperbaiki yang sudah ada.

Contoh yang gampang, kita sudah mengenal sekali CTM (chlorpheniramine maleat), sebagai anti-histamin pada terapi reaksi alergi. Obat ini memiliki efek samping "sedasi" (menimbulkan kantuk). Efek sedasi ini merugikan bagi kualitas hidup penggunanya, sekaligus sering disalah gunakan.

Ilmu pengetahuan mengembangkan anti-histamin generasi kedua, salah satunya adalah cetirizine hydrochloride, dengan efek sedasi minimal dibandingkan CTM (ini salah satu keuntungannya saja, dibandingkan CTM).

Karena relatif masih baru, setahu saya, belum ada produk generiknya (masih dalam masa paten, mungkin hampir/baru saja berakhir). Merk dagangnya untuk pasar Indonesia adalah Ryzen dan Riztec (di negara lain beda-beda merk dagang ini). Di samping tentu menemukan
obat generasi baru itu lebih sulit, karena harus punya beberapa kelebihan dibandingkan obat yang sudah ada. Kalau nggak, ya ngapain pakai obat jenis baru, iya to?

Karena itu, kalau untuk suatu kondisi dokter merekomendasikan pemberian Ryzen, jangan tergesa-gesa menilai "gimana sih dokternya, kan ada CTM yang murah". Mungkin ada pertimbangan lain, dan itu yang sebaiknya kita tahu. Caranya, ya tanya-ken apa?

Di samping temuan baru, bisa juga merk dagang menambahkan kombinasi zat lain untuk memperkuat kerja "bahan generik"nya. Contoh yang gampang, di puskesmas ada ergotamine tartrate untuk terapi migrain (jangan salah dimengerti, obat ini tidak hanya untuk migrain). Pada merk dagangnya ditambahkan caffeine dosis tertentu, untuk memperkuat kerja dari
ergotamine tartrate tersebut. Ada juga obat lain, yang produk merk dagangnya menambahkan zat tertentu agar absorbsinya di saluran cerna lebih maksimal.

(Soal cerita pernak-pernik dibalik caffeine ini juga menarik, tetapi kayaknya rada rumit, malah bikin pusing mungkin ya.)

Ada juga pertimbangan merk dagang untuk memperbaiki kinerja melalui perubahan kemasan obat. Misalnya, pada obat generiknya berbentuk kaplet lepasan tanpa bungkus (tablet berbentuk seperti kapsul). Pada generik berlogo, dibungkus dan ditambahkan salut enterik (mencegah penghancuran oleh asam lambung). Pada merk dagangnya, dibuat sebagai kapsul
bergranul, di samping mencegah penghancuran oleh asam lambung, juga bertujuan pelepasannya lebih merata.

Ada juga yang makin banyak, merk dagang mengemas untuk maksud "SR" (slow-release, atau extended release) agar obat dilepaskan perlahan-lahan. Tujuannya, misalnya cukup minum sekali sehari, tetapi efektifitas bertahan 24 jam. Ini membantu bagi penderita penyakit kronis. Contoh saja, diltiazem hydrochloride obat hipertensi, merk dagangnya dikemas sebagai Herbesser SR (sekedar contoh saja).

Ada juga pertimbangan untuk memperbaiki tingkat keberhasilan pemberian. Dalam hal anak-anak, misalnya obat anti-piretik generik berbentuk sirup dari bahan sirup dasar (syrup simpleks). Pada merk dagangnya, bisa dikemas sebagai syrup berasa buah, beraroma jeruk, agar anak-anak lebih mau minum. Ada juga yang mengemas sebagai drop agar lebih mudah
diberikan dan takarannya lebih terukur (daripada petunjuk "bayi 2-4 bulan 2,5 ml atau setengah sendok teh" misalnya. Ini sekedar contoh lho ya, jangan dipakai pegangan).

Contoh lain, ada bahan generik untuk diteteskan di hidung guna mengencerkan ingus. Obat generiknya berbentuk cairan biasa, sedang merk dagangnya dibuat dalam bentuk drop agar lebih mudah diberikan, tidak merepotkan penggunanya. Contoh lagi, obat tetes mata generik, dalam kemasan satu botol untuk dipakai berulang. Sedang merk dagangnya bisa dibuat dalam kemasan sekali pakai, untuk meminimalkan risiko kontaminasi dan perubahan isi cairan. Contoh-contoh tersebut, adalah yang sehari-hari kita temui. Sedangkan di lapangan klinik di RS, masih banyak contoh-contoh lain, namun kurang kita kenal sehari-hari.

Termasuk dalam hal ini menjawab mengapa kita masih suka mendapatkan puyer? Alasan utamanya adalah kemudahan pemberian. Memang, seharusnya semua obat diminum sesuai kemasan aslinya. Namun, memang sebagian obat terutama obat generik masih dalam kemasan dasar, seperti tablet, kaplet, di samping yang sudah berbentuk sirup dasar.

(Jadi ingat. Bahaya pertama pemberian puyer adalah risiko polifarmasinya, baru bicara soal kenapa bentuknya puyer. Yang lebih penting, kita tahu apa isi puyernya, sehingga bisa memutuskan penggunaannya. Caranya, tanya-ken apa?).

Beberapa poin agar tidak salah mencari pegangan:
1. Betul sekali, bila memang memungkinkan, mengapa tidak menggunakan obat generik? Toh, zat inti terapetiknya sama. Sebaliknya, mohon juga jangan tergesa-gesa untuk menilai buruk dokternya, bila memberikan rekomendasi obat merk dagang. Yang penting, tanyakan alasannya, bila memang kita belum tahu. Setelah tahu alasannya, kita akan lebih mudah mengkonfirmasikannya, sebelum menilai "what kind of doctor he/she is" (tulus atau sekedar ngejar fulus).
2. Dengan mengetahui apa alasannya, kita akan makin mantap memutuskan: yakin menggunakan obat generik atau terpaksa menggunakan merk dagang. Yang sekarang menggunakan merk dagang, coba tanyakan termasuk pada diri sendiri, apa sih alasannya? Kalau memang alasan itu valid dan reasonable, ya tidak perlu malu atau merasa gagal. Sebaliknya kalau ternyata pakai merk dagang sekedar karena belum tahu, ya nggak masalah,
tinggal ganti strategi ganti obat generik, wong sekarang sudah tahu.
3. Agar kelihatan lebih "mantep", kita pakai istilah yang lebih pas. Apalagi kalau ngomong sama dokter, jadi kan dokternya makin yakin "oh, pasien gue satu ini makin pinter aje, belajar di mana sih".

Catatan: ketika membahas suatu obat/bahan obat generik, etika penulisannya dengan huruf kecil bila di tengah kalimat dan tidak menyebut merk dagangnya. Penyebutan merk dagang, diawali huruf kapital, dilakukan untuk pembahasan khusus tentang obat tersebut sebagai informasi.

Selanjutnya kita akan belajar apa sih obat bebas, obat keras? Mari tarik nafas dulu .... Nanti saking asyiknya lupa ...

06 June 2006

Bagaimana menghadapi pasien "pinter"?

Jaman sekarang, pasien makin pinter, karena sumber informasi makin banyak, terutama dari internet. Bagaimana dokter menghadapinya?

(Sorry ya kalau campur bahasa Inggris, bukan apa-apa, nulisnya pas lagi mabuk harus nulis ng-English)

Perkembangan sekarang dengan era internet dan e-health, menonjolkan sekelompok pasien yang empowered, reasoning and demanding. Ini adalah kenyataan. Dokter tidak bisa dan memang tidak perlu menghindarinya.

Di sisi lain, adalah kenyataan juga bahwa ada disparitas kesempatan untuk mendapatkan informasi kesehatan secara online. Seperti beberapa kali saya singgung, yang bisa ikut milis kesehatan dan membuka situs informasi kesehatan kira-kira hanya 15% dan itupun in scarce locations. Ini menimbulkan yang disebut "digital divide". Akibatnya pasien datang ke dokter dengan "bekal dan target" yang berbeda-beda.

Menghadapi ini, ada 3 pilihan model bagi dokter di lapangan:

1. Medical model. Intinya dokter bergeming pada pendapat bahwa "diagnosa, terapi dan advise medis" hanya bisa diberikan pada face-to-face interaction and cannot be delivered through online interaction, at least not in the same level. Pada model ini, dokter juga berpegang pada prinsip etika kedokteran "first do no harm" (primum nil nocere). Memberikan diagnosa, terapi dan advise tanpa mengetahui persis kasusnya, dianggap rentan "to do harm". Apalagi kondisi kita di Indonesia, mungkin bagi sebagian (besar) dokter memang favoring to unconsciously choose this model.

2. Patient-oriented model. Dokter menempatkan pasien sebagai konsumen dengan prinsip memenuhi apa yang diinginkan oleh konsumen. Ibaratnya, apa keinginan pasien dituruti, sampai pasien puas. Masalahnya, berarti untuk pasien yang "empowered" dokter harus mengalokasikan "services" lebih dibandingkan kelompok lain. Dari sisi akses, ini berarti tidak adil bagi kelompok yang ter-disparitas (berada di sisi lain dari digital divide). Karena itu, model ini hanya bisa dijalankan kalau kelompok empowered-patient masih relatif minoritas. Juga, prinsip memberikan equalisasi bagi semua pasien tidak tercapai. Termasuk dalam kacamata sempit, apakah berarti different service juga merasionalkan adanya different fee?

3. Educational model. Dokter mengambil langkah "smart". Tidak sekedar "first do no harm" tetapi try to do a good for and protect the patient. Patients frequently have a lot of time to do a specific and focus searching through internet on what medical concern he/she is suffering from or paying attention to. The doctor might not have that much time, but doctor do have a skill and knowledge to analyze and assess the information`s relevance to the particular patient. It is at least an ethical duty for doctor to protect the patients from misunderstanding or becoming lost in complexity and amount of medical information.

Menjelaskan semua hal kepada semua pasien agar semua mendapatkan informasi yang berimbang, tentu sangat-sangat time and energy consuming. Langkah yang "smart": Buat situs sendiri. Dengan demikian, banyak pertanyaan yang senada, satu kelompok, bisa dirangkum kemudian dokter bisa menjawabnya dalam satu tulisan (dengan referensi secukupnya). Di dalamnya ditunjukkan situs-situs yang credible dan relevance sebagai guidance bagi pasien saat melakukan searching yang lebih mendalam. Selanjutnya, kepada pasien yang empowered,
tinggal ditunjukkan alamat situs ini. Sedangkan kepada pasien yang kebetulan tidak memiliki akses, dokter memberikan print-outnya sambil tetap mendorong untuk mencoba membuka situs tersebut.

Tentu ini perlu investasi, tetapi tidak sedikit laporan mengatakan bahwa pada akhirnya dokter tersebut justru makin "tenar". Sekaligus, tanpa sadar, untuk bisa memberikan situs yang "baik" tentu dokter harus melakukan recaling, updating and re-collecting datas from many resources. Model ketiga ini yang dianggap smart for doctor to choose.

Pada prakteknya, ketiga model ini tidak harus berjalan terpisah. Semua sesuai dengan kondisinya agar didapatkan kepuasan tertinggi baik bagi dokter maupun pasiennya. Pada akhirnya tentu diharapkan, baik dokter maupun pasiennya, mampu mencapai tahap yang lebih baik, menuju ke educational model, tanpa harus membuat dokternya malah tidak bisa bekerja dengan optimal melayani pasien.

Menuju ke "educational model" tentu harapan semua. Tanpa bermaksud membela diri, itu semua tentu perlu proses, dan to some points, market trend might be a strong pressure that doctor do not have much choices but try to accommodate. Masalahnya, tidak sedikit (bahkan sebagian besar) dokter yang juga turut menjadi korban dari "digital divide".

Begitupun, tidak diharapkan pula bahwa being empowered patient does not mean we have the power to dictate what doctor should do. It is just that we have more reasons to believe what choice(s) might give us best outcome.

Masalah yang kemudian timbul, setelah membuka diri di "internet", then shortly doctor will have to deal with unsolicited emails from ones that the doctor have never met. And that`s another story for doctor to smartly accommodate.

Let`s be smart in coping with different expectation.

Memahami istilah medis

Saya menemukan suatu penjelasan menarik tentang memahami istilah medis untuk awam. Mari kita coba pelajari, saya bagi di sini.

Istilah medis memang terdengar begitu rumit. Sebenarnya istilah ini tidak dimaksudkan agar pasien tidak mengerti. Tujuannya adalah keseragaman, universalitas. Agar istilah yang dituliskan dokter di Amerika tetap dapat dipahami dokter di Papua.

Karena ilmu kedokteran berasal dari sejarah panjang, banyak istilah kedokteran berawal dari bahasa klasik (Latin atau Greek). Seiring perkembangan, memang tentu ada adaptasi, perubahan. Tetapi pada dasarnya masih bisa ditarik ke bahasa asalnya. Ada juga pengaruh lokal, sehingga sering suatu istilah di-adopsi ke bahasa Indonesia. Biasanya adopsi ini secara hampir utuh, dan polanya mudah diikuti.

Memang istilah itu membuat pusing, dokter juga kadang harus berpikir dulu agar memahami artinya. Hanya karena seringnya mendengar dan memakai, dokter menjadi terbiasa.

Secara umum istilah medis terdiri dari 4 bagian.
1. Kata induk
2. Awalan
3. Akhiran
4. Penghubung antar bagian
Suatu istilah bisa terdiri dari kata induk saja, atau ditambah 1, 2 atau 3 bagian lain.

Kita ambil satu contoh sederhana: perikarditis
"Peri" adalah awalan yang berarti sesuatu yang di tepi atau melingkupi
"kard" artinya jantung
"Itis" adalah akhiran yang berarti "peradangan"
Jadi Pericarditis artinya peradangan pada jaringan yang melingkupi jantung.

Tentu mudah memahami kalau ada istilah:
Bradikardi, "bradi" artinya "lambat" sehingga "bradikardi" berarti denyut jantungnya melambat.
Takhikardi, "takhi" artinya "cepat" sehingga "takhikardi" berarti denyut jantungnya bertambah cepat.

Contoh lain yang menggunakan 2 kata induk: ureterolithiasis.
"Ureter" adalah saluran dari ginjal menuju kandung kemih. Dalam bahasa Indonesia juga disebut ureter. Fonem "o" untuk menghubungkan dengan kata berikutnya. "Lith" artinya batu, sedang akhiran "osis atau asis" artinya proses.
Jadi "Ureterolithiasis" adalah terbentuknya batu pada saluran kemih antara ginjal dan kandung kemih.

Contoh lain yang lebih kompleks: Histerosalfingografi.
Histero artinya "uterus" atau "rahim"
Salfing adalah nama lain dari tuba fallopii artinya "saluran telur"
Grafi adalah "gambar/foto".
Fonem "o" adalah kata penghubung antar masing-masing kata induk tersebut.
Jadi Histerosalfingografi berarti: gambar dari rahim dan saluran telur yang diperoleh dengan foto rontgen.

(Kata "histeris" itu diduga juga berakar dari kata "histero" yang berarti rahim ini. Ada yang menyebut karena ketika berkontraksi rahim menjadi begitu keras dan kaku. Ada yang menyebut dari ekspresi wanita ketika rahimnya berkontraksi dan mengejan kuat-kuat).

Kalau kita tengok penulisannya dalam bahasa Inggris, maka proses adopsi ini mudah diikuti.
Perikarditis: Pericarditis
Ureterolithiasis: Ureterolithiasis
Histerosalfingografi: Hysterosalphingography

Kita coba yang menarik juga: Muscullus Sternocleidomastotideus. Artinya: otot (muscullus) yang menghubungkan antara tulang sternum, tulang klavikula (salah satu bagiannya dilekati otot ini) dan tulang mastoid. Dihubungkan dengan fonem penyambung "o". Pada anak-anak, adanya peradangan di faring sering diikuti pembesaran kelenjar di sepanjang otot sternokleidomastoideus ini.

Beberapa awalan, artinya dan contoh penggunaannya:
Hiper: tinggi atau banyak, misalnya hipertensi, hipertiroid, hiperkoagulasi, hiperglikemia, hiperkolesterolemia

Peri: bagian tepi, yang melingkupi, misalnya perikardium (melingkupi jantung), peritoneum (melingkupi organ-organ dalam)

Dis: suatu gangguan, ketidak normalan, atau nyeri; misalnya disuria (nyeri saat berkemih), dismenorrhea (nyeri saat menstruasi),

A atau An: bersifat negatif, kurang, tidak seharusnya; misalnya aritmia (irama jantung tidak teratur), agenesis (tidak terbentuk), avitaminosis (kondisi kekurangan vitamin)

Hipo: rendah; misalnya hipotensi, hipoglikemia, hipotiroid

Hemi: separoh, sebelah; misalnya hemi-an-opsia (kehilangan penghilatan pada satu sisi/sebelah); hemi-parese (kelemahan otot pada satu sisi kanan-kiri atau satu dari dua alat gerak tangan-kaki).

Ipsi: satu sisi yang sama; misalnya hemiparese ipsi-lateral (ada gangguan syaraf dimana pada wajah terjadi pada sisi kanan-kiri yang sama dengan sisi dari tangan-kaki yang mengalami kelemahan otot).

Kontra: sisi yang berlawanan; misalnya hemiparese kontra-lateral (sisi gangguan pada wajah berlawanan dengan sisi kelemahan otot pada tangan-kaki).

Supra/superior: atas, lebih; misalnya kelenjar supra-renal (kelenjar di bagian atas dari ginjal); vena cava superior (pembuluh darah balik jantung dari bagian atas tubuh)

Sub/Inferior: bawah, lebih dalam; misalnya vena cava inferior (pembuluh darah balik jantung dari bagian bawah tubuh), jaringan sub-mucosa (bagian sebelah dalam dari atau di bawah jaringan lendir).

Berikut beberapa akhiran, artinya dan contoh penggunannya:
algia: nyeri misalnya neuralgia (nyeri pada syaraf), sefalgia (sakit kepala),

blast: tahap awal suatu pertumbuhan, misalnya sitotrofoblas (sel-sel bakal pembentuk plasenta pada kehamilan).

ectomi/tomi: operasi untuk mengangkat sesuatu atau tindakan memotong sesuatu; misalnya appendektomi (mengoperasi usus buntu), prostatektomi (mengangkat kelenjar prostat), phlebotomi (tindakan membuka/menusuk pembuluh darah).

itis: peradangan; misalnya faringitis (peradanga pada faring), bronkhisis (peradangan pada bronkhus/saluran nafas utama), hepatitis (peradangan pada hepar/liver/hati).

lisis: hancur, hilang, lebur, lepas; misalnya adhesiolisis (pelepasan ikatan dua jaringan/organ), hemodialisis (pembersihan darah kotor/cuci darah: hemo artinya darah).

oma: pertumbuhan tidak normal, tumor; misalnya hepatoma (tumor pada hepar/liver), mioma (tumor pada otot), mioma uteri (tumor pada jaringan otot dinding rahim), hemangiona (tumor pada dinding pembuluh darah).

oskop/oskopi: melihat, alat untuk melihat; misalnya endoskopi (melihat bagian dalam tubuh, seperti saluran cerna, tanpa menembus jaringan), laparoskopi (teknik diagnosa dengan melihat bagian dalam tubuh dengan cara menembus kulit/jaringan, bisa diteruskan dengan tindakan terapi/operasi), rektoskopi (melihat bagian dalam rektum, misalnya pada kecurigaan kanker rektum).

osis/asis: proses, suatu kondisi; misalnya lithiasis (terbentuk batu di suatu tempat); endometrosis (suatu kondisi terdapatnya jaringan dinding rahim di tempat yang tidak seharusnya),

pati: suatu yang tidak normal atau rusak; misalnya kardiomiopati (kelainan pada otot dinding jantung), retinopati (kerusakan pada retina mata, misalnya pada diabetes), nefropati (kerusakan pada nefron/bagian dari ginjal misalnya pada diabetes), ensefalopati (kondisi penyakit yang menimbulkan gangguan di otak).

plasti: membentuk seperti, memperbaiki mendekati bentuk semula; misalnya rinoplasti (memperbaiki hidung setelah cedera), vaginoplasti (membentuk vagina pada kelainan organ kelamin).

pnea: pernafasan; misalnya apnea (tidak/sulit bernafas); takhipnea (frekuensi pernafasan terlalu cepat)

rrhea: aliran; misalnya diarrhea/diare (aliran dari saluran cerna), amenorrhea (tidak terjadi menstruasi),

sklerosis: proses pengerasan; misalnya arterioskleroris (pengerasan dinding pembuluh darah oleh timbunan lipid)

uria: kandungan dalam urin melebihi/yang tidak normal; misalnya glukosuria (terdapat glukosa dalam urin), hematuria (terdapat darah dalam urin), proteinuria (terdapat protein dalam urine).

emia: terdapat dalam darah; misalnya bakteriemia (terdapat bakteri dalam jumlah yang berbahaya dalam darah), hiperglikemia (kadar glukosa dalam darah terlalu tinggi)

parese: kelemahan tonus/kontraksi otot; misalnya hemiparese (lihat penjelasan sebelumnya).

paralise: kelumpuhan tonus/kontraksi otot; kalau parese berarti elemahan, paralise berarti kelumpuhan.

Apa lagi ya? nanti kalau ingat lagi kita tambahkan lagi. Kalau ada yang menemukan, sila diusulkan untuk ditambahkan.

Kalau ke dokter atau RS, jangan lupa catat istilah-istilah yang disampaikan dokter. Bila perlu, minta dokter untuk menuliskannya, agar kita bisa mencari artinya kemudian.

Selamat belajar, jangan sampai pusing ...

Memahami gelar dokter

Kita suka bingung setiap kali membaca nama dokter dengan berbagai gelar. Agar lebih mudah memahami, mari kita coba pelajari.

Pendidikan tinggi dibagi dua: akademik dan profesi. Dulunya, untuk jenjang akademik hampir semua lulusan sarjana S-1, diberi gelar "Drs" dan "Dra". Yang berbeda misalnya "SH, SE, Ir". Khusus fakultas kedokteran, diberi gelar "Drs/Dra.Med".

Sejak 9 Februari 1993, ada SK Mendikbud 036/U/1993 mengatur gelar dan sebutan bagi lulusan perguruan tinggi. Sejak saat itu, gelar sarjana diberikan sesuai bidangnya. Muncullah kemudian:

SE: Sarjana Ekonomi
ST: Sarjana Teknik
SP: Sarjana Pertanian
SSos: Sarjana Sosial
SIP: Sarjana Ilmu Politik
SKom: Sarjana Komunikasi
SS: Sarjana Sastra
SSi: Sarjana Sains (Fakultas MIPA, termasuk Farmasi)
dan
SKed: Sarjana Kedokteran

Setelah lulus Sarjana (S-1), semua sarjana bisa memiliki 2 pilihan.
1. Langsung melanjutkan ke jenjang akademik S-2 dan S-3. Di tingkatan ini, kembali gelar diberikan sesuai dengan bidangnya. Misalnya untuk SKed ada yang memperoleh gelar:

MKes: Magister Kesehatan
MHA: Master of Health Administration
MARS: Magister Administrasi Rumah Sakit

2. Melanjutkan ke jenjang pendidikan profesi. Misalnya untuk S.Si (Farmasi) melanjutkan jadi Apt. (Apoteker), SH menjadi Notaris, dan tentu saja SKed menjadi Dokter (dr.).

Setelah lulus profesi memperoleh gelar "dr.", maka dokter bisa melanjutkan ke jenjang profesi lebih tinggi yaitu spesialisasi. Sebelum adanya SK Mendikbud tersebut, sebutan spesialisasi ditulis sesuai bidangnya. Setelah keluar SK tersebut terjadi perubahan sebagai berikut, misalnya:

dr. xxx, DSOG menjadi xxx, dr., SpOG (Obstetri dan Ginekologi)
dr. yyy, DSA menjadi yyy, dr., SpA (Anak)
dr. zzz, DSB menjadi zzz, dr., SpB (Bedah)
dr. zzz, DSJP menjadi zzz, dr., SpJP (Jantung dan Pembuluh darah)

Kalau melanjutkan lagi ke tingkatan sub-spesialis, akan muncul misalnya:

zzz, dr., SpBA (Bedah anak)
zzz, dr., SpBTKV (Bedah Thorax, Kardiovaskuler)
zzz., dr. SpBP (Bedah plastik)
zzz., dr. SpBOT atau kadang ditulis SpOT (Orthopaedi)
zzz., dr. SpBOnk (Bedah Onkologi : tumor)
zzz., dr. SpBU kadang ditulis SpU saja (Bedah Urologi)

Tetapi ada juga pengelompokan atas dasar pengakuan organisasi profesi sebagai Konsultan (baik dengan atau tanpa pendidikan khusus). Misalnya:

xxx, dr., SpPD-KGH (Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Ginjal dan Hipertensi)
xxx, dr., SpOG-KFM (Spesialis Obstetri Ginekologi Konsultan Feto-Maternal)
zzz, dr., SpPD-KHOM (Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Hematologi Onkologi Medik)
zzz., dr., SpAn-KIC (Spesialis Anesthesi Konsultan Intensive Care)
zzz, dr., SpPD-KAI (Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Alergi Immunologi)
zzz, dr., SpPK-KH (Spesialis Patologi Klinik Konsultan Hematologi)
zzz., dr., SpPD-KGer (Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Geriatri)

Yang agak lain, pada bidang kesehatan anak, seolah-olah merupakan "kedokteran dalam lingkup kecil", sehingga ada dr., SpAK (Spesialis Anak Konsultan) dengan tambahan: Konsultan Jantung Anak, Ginjal Anak, Endokrin Anak, Syaraf Anak, Gizi dan Tumbuh Kembang Anak, Hepatologi Anak, Penyakit Infeksi Anak dan seterusnya. Hanya setahu saya, pada lingkup IDAI, penulisan Konsultan tertentu ini tidak dituliskan secara eksplisit, hanya ditulis sebagai "SpAK".

Mengapa ada yang sudah menjadi dokter (pendidikan profesi) tetapi juga menggunakan gelar MKes (pendidikan akademis)?

Seorang dokter selain mengikuti jenjang profesi lanjut menjadi spesialis/sub-spesialis juga bisa mengikuti pendidikan akademis S-2 atau S-3. Artinya dua-dua jurusan dijalani. Karena itu ada beberapa gelar yang sering:

1. MKes: Magister Kesehatan. Sama-sama "Magister" dalam negeri, sebenarnya ini masih mencakup banyak bidang peminatan. Misalnya: Kebijakan kesehatan, Manajemen pengelolaan obat, Manajemen administrasi RS (ada yang menggunakan gelar MARS), Manajemen kesehatan masyarakat, dan banyak lagi.

2. Ada yang sekolah di luar negeri, memperoleh gelar misalnya MMedSci (Master of Medical Science), ada juga MMed Paed (Master of Medical Paediatric), DTMH (Diploma in Tropical Medicine and Hygiene), dan banyak lagi.

Selanjutnya dokter juga bisa sampai ke jenjang S-3, dengan gelar "Dr." (Doktor) atau "PhD". Kalau di Jerman ditulis Dr. rer. Ada juga yang ditulis "Dr.Med" (Doctor in Medicine).

Selanjutnya, kalau dokter itu bekerja sebagai dosen di perguruan tinggi, akan ada saatnya bisa mencapai jenjang guru besar sebagai Professor (Prof).

Masih ada lagi. Bila aktivitas ilmiahnya tinggi, dokter juga bisa menjadi anggota dari suatu organisasi profesi international. Biasanya disebutkan sebagai "fellow of" Misalnya:

ICRP: International Community of Royal Pathologist
AAP: American Academy of Pediatric
AAI: Association of Allergy Immunology
ICS: International Community of Surgery

Karena itu, jangan heran kalau ada yang - bila ditulis lengkap - namanya:

Prof. Dr. zzz, MHA, dr., SpPD-KAI, FAAI

Perhatikan pula cara penempatan gelar. Hanya "Prof" dan "Dr" yang ditulis di depan nama, sedangkan gelar lain ditulis di belakang nama.

(Makin menarik bila ditambahi juga gelar/sebutan dari sumber lain: agama, keraton, marga, suku, dan sejenisnya).

Agar tidak menambah bingung, saya coba tuliskan beberapa gelar spesialisasi dokter:

SpA: Spesialis Anak
SpAn: Spesialis Anesthesi
SpAnd: Spesialis Andrologi (fertilitas laki-laki)

SpB: Spesialis Bedah
SpBA: Spesialis Bedah Anak
SpBD: Spesialis Bedah Digestif
SpBO: Spesialis Orthopaedi dan Traumatologi (kadang ditulis SpOT)
SpBOnk: Spesialis Bedah Onkologi (tumor)
SpBP: Spesialis Bedah Plastik
SpBS: Spesialis Bedah Syaraf
SpBTKV: Spesialis Bedah Thoraks Kardiovaskuler
SpBU: Spesialis Bedah Urologi (kadang ditulis SpU: Spesialis Urologi)

SpF: Spesialis Forensik
SpFK: Spesialis Farmakologi Klinik
SpGK: Spesialis Gizi Klinik

SpJP: Spesialis Jantung dan Pembuluh darah
SpKK: Spesialis Kulit dan Kelamin
SpM: Spesialis Mata
SpMK: Spesialis Mikrobiologi Klinik

SpOG: Spesialis Obstetri dan Ginekologi
SpOG-KFM: SpOG-Konsultan Feto-Maternal (Janin dan Ibu Hamil)
SpOG-KFER: SpOG-Konsultan Fertilitas Endokrin dan Reproduksi
SpOG-KOnk: SpOG-Konsultan Onkologi

SpP: Spesialis Paru
SpPA: Spesialis Patologi Anatomi

SpPD:Spesialis Penyakit Dalam
SpPD-KHOM: SpPD Konsultan Hematologi Onkologi Medik
SpPD-KPTI: SpPD Konsultan Penyakit Tropik dan Infeksi
SpPD-KE: SpPD Konsultan Endokrinologi
SpPD-KGH: SpPD Konsultan Ginjal Hipertensi
SpPD-KGEH: SpPD Konsultan Gastro-Entero-Hepatologi
SpPD-KGer: SpPD Konsultan Geriatri (ketuaan)
SpPD-KR: SpPD Konsultan Rheumatologi
SpPD-KAI: SpPD Konsultan Alergi Immunologi

SpPK: Spesialis Patologi Klinik
SpR (pernah ditulis juga SpRad): Spesialis Radiologi
SpRM: Spesialis Rehabilitasi Medis
SpS: Spesialis Syaraf
SpTHT: Spesialis Telinga Hidung Tenggorokan

Beberapa catatan tentang gelar dokter:
Sesuai aturan Mendikbud tersebut, maka sebenarnya tidak semua sarjana kedokteran (S.Ked) harus melanjutkan ke jenjang profesi. Lantas kemana? Bisa saja SKed kemudian sekolah S-2/S-3 dan bekerja sesuai bidang/kemampuannya tersebut. Misalnya:

1. Menempuh S2/S3 bidang Manajemen Kesehatan Masyarakat. Setelah lulus menjadi pejabat struktural di lingkup departemen kesehatan.
2. Menempuh S2/S3 bidang ilmu biomedik, setelah lulus menjadi dosen di FK, peneliti biomedik atau bekerja profesional di perusahaan farmasi/obat.
3. Bahkan secara ekstrem, bisa saja SKed kemudian S2/S3 komunikasi, setelah lulus menjadi pengelola penerbitan media massa kesehatan.
4. Implikasi dari pengakuan - dan pembobotan - gelar sarjana kedokteran, mulai banyak "SKed" yang akhirnya menjadi manager bank, direktur perusahan asuransi, atau manajer jaringan toko asesoris mobil.

Catatan kedua. Karena gelar SKed itu juga diakui secara tersendiri dari gelar "dr". Maka seharusnya kita menulis lengkap misalnya: xxx, SKed., dr., SpA. Namun dalam praktek, bila telah bergelar "dr", maka secara inheren, dia pasti telah menyelesaikan dan mendapat gelar "SKed". Karena itu sering tidak dituliskan.

Catatan ketiga. Kadang muncul tudingan, betapa profesi dokter itu di-anak emas-kan. Seorang pengacara tidak pernah ditulis sebagai "xxx, SH, pengacara" misalnya. Begitu juga profesi yang lain (guru misalnya). Yang agak sama mungkin apoteker karena ditulis sebagai "xxx, SSi, Apt."
Saya tidak mudah berbicara soal ini, karena kebetulan saya dokter, sehingga mudah dicurigai sebagai tidak obyektif. Saya hanya bisa mengatakan bahwa, bagi saya tidak masalah seandainya gelar dokter tidak ditulis eksplisit, bila memang itu tidak menimbulkan masalah.

Apa masalah yang mungkin ditimbulkan? Bila gelar "dokter" tidak ditulis eksplisit, betapa akan makin mudah orang melakukan tindakan penipuan sebagai "dokter palsu"? Tetapi, apapun semua kembali ke cara pandang kita.

Catatan ke-empat. Istilah "Ahli" hanya diberikan kepada lulusan pendidikan keterampilan (Diploma-III atau Diploma-IV). Misalnya:

Lulusan AKPER, AKBID: AMK (Ahli Madya Keperawatan)
Lulusan Diploma-III secara umum: AMd (Ahli Madya)
Lulusan Diploma-IV secara umum: A (Ahli)

Tetapi kalau sudah lulusan Fakultas Ilmu Keperawatan/Progam Studi Ilmu Keperawatan, gelarnya: SKp (Sarjana Keperawatan). Sampai saat ini kalau kebidanan, baru sampai tingkatan Diploma-IV.

Karena itu, jangan kita menyapa "dokter ahli kandungan" karena ini sebenarnya menurunkan derajat pengakuan profesinya.

Semoga tidak bingung lagi membaca papan nama dokter yang namanya bisa panjang sekali.

Dan terakhir, seperti sering kita baca di lembar undangan pernikahan:
mohon maaf bila ada kesalahan penulisan nama dan gelar.

23 May 2006

WHO Child Growth Standards

Setelah melalui Multi-centers Growth Referrence Study (MGRS) sejak 1997-2003, WHO telah menyusun Standar Grafik pertumbuhan dan perkembangan bagi anak-anak. Dengan menggunakan 8500 sampel anak-anak dari 6 negara (Brazil, Ghana, India, Norway, Oman and the USA), diharapkan standar yang baru ini lebih mencerminkan rata-rata data dari seluruh dunia.

Penyajian grafik dalam dua bentuk: mesin penghitung dan grafik seperti telah kita kenal selama ini. Disertakan juga manual untuk petunjuk cara pemakain mesin penghitung tersebut. Yang menarik, ada juga menu "National Suvey". Dengan menu ini, kita bisa mencoba juga memetakan data-data di suatu wilayah, sehingga bisa didapatkan semacam "standard" lokal.

Cukup banyak grafik yang disusun WHO, selengkapnya bisa diperoleh di situs WHO. Untuk mempermudah bagi yang memerlukan, saya mencoba memberi jalur lain mendapatkan mesin penghitung dan grafik dimaksud. Silakan diperoleh mesin penghitung dan grafik tersebut:

1. Mesin penghitung (software)
2. Manual
3. Grafik berat badan terhadap umur anak laki-laki 0-5 tahun
4. Grafik berat badan terhadap umur anak perempuan 0-5 tahun
5. Grafik tinggi badan terhadap umur anak laki-laki 0-5 tahun
6. Grafik tinggi badan terhadap umur anak perempuan 0-5 tahun
7. Grafik BMI terhadap umur anak laki-laki 0-5 tahun
8. Grafik BMI terhadap umur anak perempuan 0-5 tahun

Catatan: BMI adalah Body Mass Index atau Indeks Massa Tubuh, menunjukkan perbandingan berat badan terhadap luas permukaan tubuh. Dihitung dengan rumus: berat badan (dalam satuan kilogram) dibagi kuadrat dari tinggi badan (dalam satuan meter).

Semoga bermanfaat.

26 April 2006

Belajar dari si buah merah: menggunakan obat herbal secara rasional

(ditulis sekitar 1 tahun lalu, esensi isi masih relevan, terkait dengan makin maraknya obat herbal di pasaran).

Akhir-akhir ini fenomena si buah merah sangat menarik, seperti banyak diberitakan di media massa, termasuk harian ini. Khasiat buah yang sudah dikonsumsi turun temurun di Papua ini diklaim mampu menyembuhkan berbagai penyakit seperti kanker rahim, paru-paru dan lever. Juga ampuh bagi para penderita diabetes, hipertensi, prostat, asam urat, stroke maupun wasir. Bahkah belakangan sudah dilaporkan sudah memberi hasil baik pada penderita HIV/AIDS. Khasiat tersebut, menurut penemunya Dr. I Made Budi, MSi, karena buah merah diantaranya banyak mengandung betakaroten, tokoferol dan asam lemak seperti asam oleat, linoleat, linolenat dan dekanoat disamping berbagai vitamin dan mineral seperti kalsium dan Fe (zat besi). Begitu menjanjikan memang, bagaimana mensikapinya ?

Laporan WHO mencatat sekitar 80% masyarakat di negara sedang berkembang mengandalkan obat tradisional untuk pelayanan kesehatan dasar akibat kurangnya pengetahuan atau faktor tradisi. Sementara di negara-negara maju, para pasien memilih obat herbal karena keyakinan akan sifat alamiah yang aman. Sayangnya, ini diikuti juga oleh meningkatnya laporan reaksi merugikan (adverse reaction). Selama tahun 2002, diperoleh laporan adverse reaction sebanyak 9.854 kasus di China dimana terapi tradisional banyak digunakan bersama terapi konvensional (WHO, 2004).

Berdasarkan tingkat keamanannya, guidelines dari WHO membagi obat herbal menjadi 4 kategori. Pertama adalah indigenous herbal medicine, yang secara historis turun temurun banyak dipakai pada kalangan lokal atau daerah tertentu. Dokumen rinciannya kadang ada, tetapi biasanya sulit didapatkan, dan boleh digunakan secara lokal.

Kedua, herbal medicine in system, dimana obat sudah dipakai secara turun temurun dan tersedia dokumen tentang teori dan konsep yang mendasarinya, sehingga bisa diterima oleh banyak negara. Contohnya ; Ayurveda, Unani dan Siddha.

Selanjutnya, bisa dilakukan modifikasi terhadap obat herbal agar memenuhi standar keamanan dan efikasi (modified herbal medicines). Persyaratan akan lebih ketat bila sudah memasuki pasaran ekspor (imported products with a herbal medicine base).

Di Indonesia, Badan POM mengarahkan pengembangan obat tradisional menjadi tiga kelompok berjenjang, yaitu jamu sebagai warisan budaya. Setelah menjalani uji farmakalogi dan baku terstandarisasi, disebut sediaan herban berstandar. Sedang kategori fitofarmaka mengharuskan uji klinik pada manusia. Sayangnya, proses uji klinik ini tidak mudah. Sementara klaim soal efektifitas obat herbal sudah terlanjur banyak kita dengar.

WHO sendiri menetapkan protokol ketat untuk baku mutu melalui Good Agricultural and Collection Practices (GACP) dan Good Laboratory Practices (GLP) untuk mengawal baku mutu sejak dari bahan mentahnya. Kekhawatiran tidak adanya baku mutu ini juga dilontarkan oleh penemu obat merah, meski sudah mengantongi nomor register dari Depkes, karena bamyak pihak mengklaim sebagai produsennya, tanpa standar produksi yang jelas dari pihak berwenang.

Sementara itu, buah merah hanya salah satu dari sekian banyak produk yang diklaim memiliki efek terapi untuk penyakit-penyakit medis, sehingga muncul dorongan agar bisa dimasukkan dalam resep dokter. Fenomena maraknya obat herbal (fitofarmaka) ini sering membuat para dokter kikuk bila harus menjawab pertanyaan dari pasien. Bisa dipahami, bila mereka yang berpegang pada konsep evidence-based medicine tidak mudah menerima hadirnya klaim-klaim semacam itu.

Sekedar contoh, anti-oksidan pada buah merah diklaim bersifat anti-kanker, disamping adanya tokoferol (salah satu anti-oksidan) yang mencegah penyakit jantung kooner. Sementara, meskipun secara teoritis klaim tersebut beralasan, review terhadap laporan penelitian terapi dengan anti-oksidan belum mampu memastikan keguanan vitamin seperti A, C, E atau Beta-carotene dalam mencegah penyakit kardiovaskuler, bahkan pada sebagian laporan berefek negatif. Alasannya, hasil-hasil penelitian masih kontradiktif, dan sebagian besar merupakan studi epidemiologis yang didasari bukan oleh pemeriksaan klinis, namun data historis dan laporan susunan diet subyek penelitian (Hasnain & Mooradian, 2004).

Apalagi, ada juga laporan-laporan efek tidak diinginkan dari penggunaan dan overdosis anti-oksidan. Asupan vitamin C dosis tinggi misalnya bisa mengarah ke gangguan saluran cerna (diare) sampai gangguan perdarahan pada penderita defisiensi G6PD, atau aritmia pada orang yang kelebihan zat besi. Overdosis vitamin A bisa memicu osteoporosis dan teratogenisitas, sementara vitamin E bisa memperburuk retinitis pigmentosa serta risiko stroke hemorrhagis. Ada juga laporan kegagalan operasi oleh perdarahan, yang setelah ditelusuri akibat konsumsi jangka panjang Ginko biloba.

Para pasien, cenderung tidak terbuka terhadap dokter bila dirinya – secara terpisah atau bersama-sama obat medis – juga mengkonsumsi obat herbal. Uniknya, bila akhirnya sembuh, cenderung “keberhasilan” tersebut dialamatkan pada obat herbal. Sementara saat ternyata gagal, cenderung dokter/obat medis yang dituding tidak mampu mengobati, bahkan bisa dituding menjadi penyebab kematian pasien. Padahal laporan WHO menyebut, salah satu penyebab adverse reaction adalah tidak dilaporkannya penggunaan obat herbal kepada dokter yang merawat, termasuk kasus perdarahan saat operasi pada contoh sebelumnya.

Lontaran yang sama muncul dari ahli AIDS FKUI yang menyatakan, banyak penderita HIV/AIDS berhenti berobat beralih ke buah merah, padahal obat bagi mereka saat ini masih gratis. Dokter tidak mengetahui, tetapi mendapat laporan dari para pendamping. Akibatnya sejumlah pasien sampai meninggal. Sementara, menurut dokter tersebut, penderita yang membaik dengan buah merah sebenarnya adalah yang masih tetap bersama-sama menggunakan obat dari medis, artinya karena obat anti virusnya.

Intinya, sering terjadi kebuntuan komunikasi antara dokter-pasien dalam hal terapi alternatif. Kondisi ini diperparah oleh suasana yang seolah secara diametrikal menempatkan dokter dengan “terapi konvensional” di satu sisi dengan “terapi alternatif” di sisi lain, termasuk – atau terutama – obat herbal. Uniknya, para praktisi terapi alternatif tidak jarang mendasarkan klaim efektiftas obat herbal dengan perbandingan terhadap “terapi konvensional”, tanpa melalui suatu uji klinik standar.

Bila berpegang pada prinsip evidence-based medicine tentu saja dokter tidak bisa menerima suatu obat herbal tanpa penelitian yang standar. Namun, data-data empirik pada hampir semua klaim obat herbal, seperti misalnya yang dipaparkan oleh penemu buah merah, tentu tidak bisa begitu saja diabaikan. Sementara ke depan, WHO sendiri mengharapkan obat tradisional bisa dikembangkan secara ilmiah, agar nantinya peresepan harus oleh tenaga berkualifikasi, guna meminimalkan adverse reaction.

Disisi lain, pertumbuhan industri dalam hal obat herbal juga makin marak, sehingga secara ekonomis akan memiliki dampak bagi penghasilan mereka yang terkait di dalamnya, termasuk para petani di lapisan bawah yang mulai melirik harapan menanam bahan mentah obat herbal.

Menghadapi kenyataan ini, mau tidak mau, jalan tengah harus dicari. Secara manusiawi, tidak ada penggunaan obat herbal yang bertujuan buruk, sayangnya juga tidak banyak yang sudah dilengkapi dokumen pendukung soal efektifitas dan keamanannya. Beberapa penelitian mendapatkan petunjuk akan manfaat kandungan zat dalam tanaman. Sebut saja seperti xeronine dalam mangkudu, organosulfur dalam sayuran jenis allium (seperti bawang putih), lycophene dalam tomat atau flavonoids dalam teh hijau, terbukti ada manfaatnya. Masalahnya, efek itu masih bersifat “multi-faces” untuk berbagai ragam penyakit, tidak spesifik. Karena itu yang bisa disepakati sejauh ini, meski ada beberapa yang bersifat short-action, efektifitas obat herbal lebih bersifat maintenance, jangka panjang, dan regeneratif.

Untuk itu, penulis berpendapat, penggunaan obat herbal sebaiknya mengikuti pola 5-R yaitu rapid-clearance, rythmic, re-check, relaps, dan report. Istilah ini rekaan penulis untuk mudah diingat.

Lebih jelasnya, kita ambil contoh konsumsi buah merah pada penderita diabetes. Langkah pertama kadar gula darah harus tetap dikendalikan lebih dulu dengan obat-obat medis (rapid-clearance). Setelah tercapai kadar terkendali, secara bersama-sama dengan obat medis mulai meminum "ramuan sehat" tersebut. Cara minum ini menuntut keteraturan/ketelatenan (rhytmic), bila tidak maka sulit dipastikan tercapai hasil maksimal (bila memang nantinya efektifitasnya terbukti). Pastikan pula, keputusan minum obat ini didiskusikan dengan dokter yang merawat.

Kemudian, check and re-check secara berkala tetap harus dijalankan, untuk melihat perubahan, termasuk untuk menyesuaikan dosis obat medis bila terjadi perbaikan atau perburukan. Yang tidak diharapkan, karena merasa kadar gula darah puasa dan 2 jam PP sudah terjaga, lantas berhenti check, yang penting terus minum obat herbal. Risiko hipoglikemia tidak lebih ringan risikonya daripada hiperglikemia pada penderita diabetes, bila tanpa pengecekan berkala. Paling tidak setiap 3 bulan ada baiknya re-check dengan HbA1c.

Di tengah kebiasaan rutin mengkonsumsi ramuan sehat ini tetap harus diwaspadai munculnya tanda-tanda perburukan (relaps). Misalnya penderita merasa jadi lebih sering mengantuk menjelang siang hari. Bila ini terjadi, jangan lantas sekedar merubah pola minum (misalnya ditambah sering), lebih baik diskusikan lagi dengan dokter agar diketahui mengapa sebabnya atau apa yang sebenarnya terjadi.

Terakhir, sangat baik bila mau melakukan pencatatan (report) perubahan-perubahan yang dirasakan dikaitkan dengan kebiasaan minum tersebut. Dari catatan tersebut, suatu saat akan mudah dilihat kapan ternyata muncul efek yang diharapkan maupun efek samping yang tidak diinginkan, bagaimana efek dari perubahan frekuensi dan takaran, dan seterusnya. Kalau ternyata berhasil baik, catatan yang rapi ini sangat baik. Kalaupun belum mendapatkan hasil yang diharapkan, catatan tersebut tetap berguna untuk dikaji kembali. Langkah reporting ini juga direkomendasikan oleh WHO agar tersusun dokumentasi obat herbal, guna kepentingan penelitian lebih lanjut, sehingga ada harapan akhirnya obat herbal bisa diterima dalam formula terapi medis, setelah melewati uji klinis paripurna.

Pola seperti ini, dalam hemat saya, akan bisa diterima oleh dokter, tanpa harus merasa “dikelabui” oleh pasien. Sekaligus dokter, pasien maupun pihak lain yang berwenang bisa mendapatkan pengalaman dan data baru, tanpa harus mengurangi saling percaya dalam suasana hubungan dokter-pasien. Ini tidak lantas berarti Badan POM dan yang terkait sekedar menunggu, tetap saja harus ada langkah proaktif sebelum akhirnya beban masalah yang mungkin timbul dalam soal tanaman herbal ini makin menggunung.

14 April 2006

(3) Virus, sistem imun dan antibiotika

Pertanyaan “lantas kapan antibiotika selayaknya diberikan pada infeksi yang kebanyakan akibat virus” adalah hal yang sulit dijawab dengan tuntas.

Mengapa? Benar, 90 (atau bahkan 95%) penyakit saluran pernafasan pada anak-anak disebabkan virus. Benar, bahwa antibiotika bukan obat untuk virus, karena yang membunuh adalah sistem pertahanan tubuh.

Sebaliknya, benar pula bahwa infeksi virus bisa menimbulkan kerentanan. Benar bahwa karena rentan, bakteri bisa 3menumpang2 ikut menyerang. Dan jelas bakteri itu obat-nya antibiotika (tentu dengan sistem pertahanan tubuh juga).

Lantas, bagaimana kita tahu bahwa bakteri sudah menumpang? Jawaban standar: dibuktikan dengan tes laboratorium. Berapa hari pemeriksaannya ? Berapa bayarnya ? Selama menunggu itu bagaimana ? ...

Urut-urutan dasar seorang dokter menegakkan diagnosa seharusnyalah tetap melewati prosedur baku: anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, baru diagnosa. Setelah diagnosa ketemu, barulah ada terapi.

Bagaimana melakukan anamnesis, melakukan pemeriksaan fisik, adalah hal-hal yang boleh dianggap “inti” dari ilmu menjadi seorang dokter. Soal penentuan/interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium, bahkan soal analisis hasil pemeriksaan, kalau mau bisa dibaca ilmunya. (Ilmu kedokteran itu sebenarnya open-book, tidak ada yang ditutup-tutupi, tidak ada yang namanya "jurus guru jurus cantrik").

Tetapi ketika sampai pada “melakukan dan menganalisis anamnesis, melakukan dan menganalisa pemeriksaan fisik”, disinilah faktor “the man behind the gun” akan berbicara. Dan hal inilah yang paling sulit dicapai melalui fasilitas “maya” semacam rubrik konsultasi cetak/online dan milist.

Sebagian besar kalau tidak ingin dikatakan hampir semua dokter tahu dan sadar soal “kesalahan” melakukan poli-farmasi, soal risiko resistensi antibiotika, soal virus dan banyak hal lain. Masalahnya, ketika berhadapan dengan pasien, yang ada adalah “harus membuat keputusan”.

Agar fokus, ketika berhadapan dengan pasien bayi/anak-anak dokter juga sadar bahwa “anak-anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini”, penyakitnya bisa lain, perjalanan penyakit bisa lain, respon terapinya lain, efek dan side-effect obatnya juga lain let alone soal-soal yang lebih “sederhana” semacam menghitung dosis obatnya.

Mengapa diberikan antibiotika? Mengapa tidak diperiksa laboratorium dulu? Prinsip kedokteran jelas menyebutkan: menggunakan kemampuan tertinggi untuk sebesar-besar keuntungan pasien. Saya kira, kalau memang semua data bisa didapatkan dalam waktu sesingkat mungkin, semua dokter juga senang, karena lebih mudah baginya memutuskan.

Kok dokter langsung memberikan antibiotika tanpa pemeriksaan laboratorium? Secara obyektif, akan ada 2 kelompok alasan:

Faktor medis: memang kondisi infeksinya sudah berat, untuk itu diberikan antibiotika narrow spectrum, sambil dilakukan pemeriksaan lab, untuk kemudian dilihat perkembangannya; atau dokter sudah tahu riwayat medis si pasien sebelumnya.

Faktor non medis: memang pasien tidak mampu melakukan tes laboratorium lebih dahulu, kondisi lingkungan pasien tidak mendukung bila harus menunggu pemeriksaan lab lebih dahulu (higiene dan sanitasi kurang), dan sejenisnya.

Bagaimana tahu kondisi infeksinya sudah berat? Kembali, ananmesis dan pemeriksaan fisik secara langsung hampir tak bisa tergantikan oleh pemeriksaan “jarah jauh” (sampai batas tertentu bisa dicapai dalam konsep referral and second opinion yang selayaknya).

Tanpa laboratorium, bagaimana dokter berani menentukan antibiotikanya? Ada dua hal :

Secara obyektif. Darimana kita tahu bahwa “setelah DPT anak demam ringan, membaik meski tanpa obat sekalipun”, atau bahwa “kejang demam pertama kurang dari 5 menit, hanya 30% yang akan terulang dalam 6 jam kemudian”, atau juga tahu bahwa “95% common problems pada anak-anak terjadi karena virus”? Itu semua adalah data statistik, diperoleh dari pencatatan secara berkesinambungan.

Secara statistik pula dokter mendapat informasi bahwa “penyakit X biasa disebabkan bakteri Y, yang memiliki respon terapi sekian persen baik dengan antibiotika A, tetapi resisten terhadap antibotika B”.


Secara subyektif. Keunggulan dokter ditentukan juga oleh pengalamannya, yang akan membentuk "intuisi". Dan bicara "intuisi", tentu kita paham, ini bukan soal untuk diperdebatkan "intuisinya", yang bisa dinilai hanya "hasil"nya.

Bagaimana di lapangan? Saya tidak berani memastikan, tetapi menghadapi kenyataan seperti itu di lapangan, saya kira akan ada 3 kelompok dokter:

1. Di sisi ekstrem kiri dari kurva normal akan ada sekelompok dokter yang "emang gue pikirin" pokoknya memberi obat for whatever the reason is.
2. Di sisi ekstrem kanan dari kurva normal, akan ada sekelompok dokter yang berusaha teguh memegang "teori" sambil berusaha sekuatnya mengikuti perkembangan. Yang begini ini, mohon maaf, tentu memerlukan jiwa besar dan ketegaran menghadapi "mekanisme pasar".
3. Sebagian besar dokter akan berusaha mengambil jalan tengah, melihat situasi-kondisi pasien. Tetap mengikuti teori dan perkembangannya, berusaha melakukan edukasi, tetapi juga mau melakukan kompromi (sampai batas-batas tertentu).

Ah, itu kan dokter-nya yang nyari untung? Soal untung, itu relatif, tetapi tidak perlu dipungkiri bahwa dokter juga memikirkan self-interest. Mulai soal yang relatif "kecil" semacam tidak dapat pasar karena pasien merasa tidak puas.

Sampai ke yang jauh lebih serius, seperti analogi berikut. Dokter meyakinkan bahwa "Bu ini tidak perlu antibiotika karena 95% disebabkan virus". Tetapi 2-3 hari kemudian anak tiba-tiba masuk ke kondisi shock-septic. Apakah benar bahwa dkternya tidak akan disalahkan dan bisa membela diri karena "lha saya kan ada dasar ilmunya bilang begitu"?

Iya sih, tetapi berarti itu dokternya "nggak pede" dong? Pada akhirnya ilmu kedokteran itu bukan sekedar "ilmu" tetapi juga "art". Dokter diharuskan mampu meniti tali antara simpul "teori by book" di satu ujung dengan "cost-benefit-ratio" di sisi lain. Apakah berarti dokter tidak "pede"? Bisa terjadi demikian kalau dia tidak sanggup "meniti tali ilmu dan seni" tadi, tetapi tidak akan terjadi kalau memang memiliki kemampuan profesional untuk membuat judgement.

Lho, kalau ternyata kekhawatiran dokter itu "salah" kan bisa berabe? Menghadapi ini, ada yang mengatakan : risiko obat itu jelas bisa diprediksikan, tetapi risiko penyakit sulit diperkirakan. Ibaratnya, daripada menanggung risiko kena "penyakit" masih lebih enak menanggung risiko "obat".

Apakah sesederhana itu? Tentu saja tidak. Betapa beban dokter ringan bila memang paradigma itu yang dipakai. Justru kembali ke awal tadi : how doctor he/she is ....

Terakhir, saya jujur masih termasuk kelompok dokter di "tengah-tengah kurva" tadi, esuai dengan kondisi lapangan yang waktu itu saya hadapi. Tentu, saya tetap berpegang pada teori, tetap mengikuti perkembangan. Usaha edukasi tetap saya jalankan, tetapi sampai batas tertentu, saya juga tetap melakukan kompromi. Semata-mata demi keyakinan bahwa itu semua untuk sebesar-besar keuntungan pasien.

Semoga bermanfaat.

(2) Virus, sistem imun dan antibiotika

Seperti banyak disampaikan: virus itu tidak ada obatnya!

Secara ringkas ini jelas salah, wong ada yang namanya "obat anti virus" (antiviral therapy) kok!

Tapi, dua-duanya perlu dipahami lebih dalam. Memang, seperti paparan sebelumnya, secara langsung virus itu sendiri tidak bisa di-mati-kan seperti antibiotika mematikan bakteri (ada memang zat yang bisa mematikan virus secara langsung seperti detergen, alkohol, formaline, tapi tentu tidak mungkin meminumnya untuk membunuh virus di dalam tubuh bukan?).

Lantas, antivirus itu untuk apa?

Untuk bisa memasuki suatu sel, perlu "kunci". Agar virus bisa masuk dengan aman, maka dia memiliki "kunci palsu" yang mirip dengan kunci asli. Dengan cara ini tentara penjaga pintu gerbang maupun barisan intelijen tidak mendeteksinya, karena dianggap "teman" sendiri. Melengganglah virus dengan santai masuk pintu di dinding sel.

Begitu masuk pintu ini, sebenarnya kebanyakan virus tetap meninggalkan jejak yang tertangkap radar barisan intelijen. Sebelum masuk sel, umumnya virus harus melepaskan bajunya (dinding/membran/envelope) dulu. Baju lepas inil yang mudah dikenali oleh tentara tubuh. Bahkan ada virus yang "jaket" (envelope) si virus ini sudah bisa menimbulkan reaksi sistem imun (misalnya HBsAg dari Hepatitis-B). Masalahnya, setelah virus terlanjur masuk sel, barisan intelijen dan batalyon pemukul bingung. Kalau akan dihancurkan sel yang ditumpangi itu masih "keluarga" tubuh sendiri.

Satu kelompok obat antivirus berusaha mencari jalan menghambat kerja virus mencari home-base ini, paling banyak dengan teknik "kompetisi" menutup celah di dinding sel yang "kunci palsu"nya sudah dipegang si virus.

Kelompok antivirus lain, berusaha mengganggu kerja virus dalam menumpang dan menguasai home-base-nya. Dalam teknik ini ada risiko memang, meski sudah diminimalkan. Kadang terpaksa sel yang menjadi home-base- ikut rusak dalam usaha menghancurkan virus yang "menyusup" ke dalamnya. Yah daripada terlanjur dikuasai virus, terus jadi home-base serangan, terpaksa mengorbankan satu sel keluarga sendiri ...

Disamping itu, ada kelompok obat antivirus yang berusaha memperingan efek penyerangan virus dengan cara menghambat kerja "peluru dan meriam" (zat-zat tertentu yang dikeluarkan si virus) penyebab sakit pada tubuh manusia.

Sejauh ini, belum ada obat antivirus yang 100% berhasil menahan/menghambat/ menghancurkan virus. TETAPI efeknya tetap signifikan dalam : memperingan efek serangan virus, meminimalkan efek sisa paska serangan dan memperingan kemungkinan penularan terhadap orang lain.

Sebagai contoh : pada Herpes zoster, pemberian Acyclocyr akan efektif bila mulai diberikan sebelum 24 jam pertama. Mengapa? Agar masih ada kesempatan untuk melawan kerja si virus, sehingga sequele (gejala sisa) bisa minimal. Kalau terlambat, virus terlanjur menguasai keadaan, maka dia akan sempat membentuk "tempat persembunyian" di pangkal pembuluh syaraf, kemudian suatu ketika kembali menyerang.

Ternyata, ada juga virus yang makin pinter. Virus hepatitis B atau HIV misalnya, bisa melakukan teknik "doormant". Begitu masuk sel, dia melihat bahwa suasana di luar sel tidak kondusif untuk melakukan serangan.

Menghadapi ini, si virus akan "sembunyi" dengan cukup menumpang saja, yang penting tidak mati, tidak ambisius menguasai sel tempatnya menumpang. Sampai suatu saat nanti, tentara pas lemah - mungkin situasi politik lagi goyah - si virus bangun dari tidurnya dan menyerang manusia. Karena itu, masa inkubasi HIV bisa bertahun-tahun, baru benar-benar menimbulkan masalah.

Bahkan, sekarang mulai banyak virus hepatitis B yang sudah mengalami mutasi. Akibatnya jaket HbsAg yang biasa dikenali tentara tubuh, bisa berubah penampilan sehingga tidak dikenal. Anti-Hbe yang seharusnya terbentuk setelah infeksi, juga bisa terhambat. Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah maraknya vaksinasi massal hepatitis B. Bukan vaksinasinya yang salah, tetapi memang itulah cara virus memenuhi prinsip “survival of the fittest”.

Apakah virus itu memang kerjanya hanya bikin susah? Hmm, ternyata Tuhan memang maha bijaksana. Memanfaatkan sifatnya yang "bak James Bond", jenis virus tertentu bisa kita "titipi" zat terapetik, kemudian di-infeksikan agar memasuksi sel-sel tertentu dalam tubuh kita, sehingga zat terapetik itu ikut terbawa kesana.

Pada lapangan Gene-Therapy, si virus ini kita "rekayasa" agar memiliki sifat genetik tertentu, kemudian kita infeksikan, dia memasuki sel-sel dalam tubuh, menguasai sel tersebut, sehingga akhirnya sel tersebut berubah sifat genetiknya sesuai keinginan kita. Tentu saja, untuk ini dipilih virus-virus yang sudah "dijinakkan".

Pertanyaan berikutnya yang sering muncul: kalau tahu memang infeksi virus, mengapa dokter memberi antibiotika?

Berlanjut …