(Bagian ke 2 dari 2 tulisan)
Penggunaan istilah “flek” untuk penyakit TB paru pada anak-anak seperti diulas dr. Arifianto, mengingatkan pada kebiasaan mengatakan “gejala” untuk suatu penyakit. Penggunaan istilah ini cukup sering kita dengar pada pergaulan sehari-hari. Tentunya tidak lepas dari kamar praktek dokter, yang kemudian merambah ke masyarakat umum.
Dalam proses kerja seorang dokter, ada urut-urutan : anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, diagnosis (dan diagnosis). Dua tahap pertama boleh dikatakan ilmu inti menjadi seorang dokter. Pada banyak kondisi, dokter diharuskan mampu menegakkan diagnosa “hanya” dari dua tahap pertama. Perlu tidaknya dan apa jenis pemeriksaan penunjang, sangat ditentukan oleh hasil dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. (Soal anamnesis ini menarik dan penting semoga sempat ada tulisan lebih rinci).
Sedang soal interpretasi hasil, soal kaitan antar hasil-hasil pemeriksaan, kalau mau bisa dipelajari oleh banyak orang. Apalagi dengan adanya internet. Ilmu kedokteran sebenarnya sebuah buku-terbuka, tidak ada istilah “ilmu guru, ilmu murid”.
Dalam anamnesis dan pemeriksaan ada GEJALA ada TANDA. Gejala mengarah pada kondisi subyektif yang dirasakan oleh pasien (misalnya pusing, mual, kembung, sakit kepala, lemas, mata berkunang-kunang, mata gatal, badan panas, sesak nafas, dada kiri nyeri). Sedang tanda dibuktikan dengan pengukuran obyektif (misalnya suhu sekian derajat, tensi darah sekian mmHg, konjunctiva palpebra merah radang, abdomen hiper-timpani, bising sistolik derajat sekian di lokasi ini).
Mengapa muncul istilah “gejala tifus”?
Ketika datang seorang pasien, adanya gejala dan tanda demam tifoid serta hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, seorang dokter bisa mendapatkan suatu “kesimpulan”. Seperti pada tulisan terdahulu, falsafahnya adalah : diagnosis-diagnosis-diagnosis-terapi. Setelah satu kesimpulan ini, dokter memiliki “diagnosa kerja”. Selanjutnya, diagnosa kerja perlu diteruskan dengan pemeriksaan penunjang untuk mendapatkan konfirmasi. Dalam hal “diagnosa kerja” demam tifoid misalnya, perlu diteruskan dengan pemeriksaan kultur darah yang dikenal sebagai gal culture (kultur bakteri Salmonella typhi). Kultur dilakukan minimal minggu kedua.
Tetapi proses kultur perlu waktu 4-6 hari. Selama menunggu inilah berdasarkan diagnosa kerja, dokter bisa memberikan terapi.
Kalau sudah diagnosa kok masih disebut “gejala”?
Masalahnya ada 2 hal. Pertama, hampir sama dengan cerita soal “flek” dan “TB paru”. Pasien lebih suka bertanya “tapi baru gejala kan dok” daripada “apa sebenarnya yang terjadi dok”. Seringkali pasien tidak ingin dilabel "sakit tifus" meski sebenarnya sudah menderitanya. Akibatnya, dokter menjadi berpikir untuk memberitahukan apa adanya.
Kedua, soal istilah. Meski relatif, memberi pemahaman soal “diagnosa kerja” bisa menjadi hambatan pula. Apalagi kalau pasien terus bertanya “lho, wong sudah diagnosa kok masih harus periksa lab dok”. Mungkin dokternya jadi malas harus bercerita banyak-banyak. Akhirnya, jadilah muncul istilah “gejala tifus” tersebut.
Masalahnya lebih pelik lagi kalau kemudian pasien tidak memiliki cukup sumber daya untuk menjalani pemeriksaan laboratorium. Bila demikian adanya, terpaksa dokter harus meyakini “keterampilan dan intuisi” nya dari anamnesis dan pemeriksaan fisik saja.
Karena itu, mari kita sama-sama menjadi “pintar” untuk menghadapi kondisi seperti itu. Lakukan diskusi sehingga dokter puas bisa bercerita lengkap, pasien juga puas mendapatkan informasi lengkap. Seandainya proses pemeriksaan tidak bisa lengkap sampai ke pemeriksaan penunjang, paling tidak pasien harus tetap tahu yang sebenarnya terjadi. Bila pasien benar-benar tahu, maka menjadi “aman” bagi kedua pihak, tidak perlu khawatir terjadi masalah akibat kecurigaan di kemudian hari bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Mari kita sama-sama belajar agar menjadi pintar …
04 April 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment