Beberapa saat yang lalu, surat elektronik (surel, email) berisi laporan suatu kasus kesehatan di sebuah rumah sakit di Medan, beredar secara lintas-mitra beberapa milis. Kurang lebih melaporkan tentang telah meninggalnya seorang pasien paska persalinan yang menurut laporan tersebut, diduga disebabkan oleh keterlambatan memperoleh darah transfusi.
Saya tidak pada posisi mengkonfirmasikan isi laporan tersebut, apalagi menilai kasusnya. Tetapi topik keterlambatan darah transfusi ini menarik untuk dikaji lebih dalam. Secara khusus, saya tidak memiliki pengalaman bekerja atau memimpin suatu UTD (Unit Transfusi Darah) PMI. Hanya kebetulan beberapa kali saya terlibat dalam kegiatan PMI terutama di bidang pelatihan transfusi darah. Dipadu dengan pengalaman lapangan selama menjadi mahasiswa kedokteran dan bekerja di RS, tulisan terdahulu dan tulisan berikut semoga bermanfaat.
PMI mendapatkan stok darah dari 2 jenis donor. Pertama, donor darah sukarela (DDS) yang memberikan darahnya tanpa tujuan untuk seorang pasien tertentu, sehingga tidak ada keharusan golongan darah tertentu. Darahnya akan diberikan kepada siapa saja yang membutuhkan. DDS bisa berinisiatif datang sendiri ke UTD PMI atau melalui kegiatan donor darah bersama yang sering dilaksanakan suatu organisasi, kantor, lembaga, sekolah, kampus atau perhimpunan dalam masyarakat. Kedua, donor darah pengganti (DDP) adalah yang memberikan darahnya untuk seseorang pasien tertentu (keluarga, teman, relasi). DDP datang dan diambil darahnya di UTD PMI.
Seperti pada tulisan terdahulu, syarat menjadi pendonor berlaku untuk kedua jenis pendonor. Setelah darah diambil, dilakukan serangkaian pemeriksaan penapis (screening) golongan darah dan IMLTD. Standar IMLTD yang diperiksa meliputi : hepatitis B, hepatitis C, HIV/AIDS dan Sifilis.
Darah dari DDS yang lolos uji tapis, diberi label identitas dan dimasukkan bank darah penyimpanan sesuai prosedur tertentu sampai saatnya diperlukan (berlaku prinsip first in first out). Bila ada kebutuhan darah dari pasien, maka diambilkan dari bank darah sesuai golongan darahnya.
Bila ternyata darah yang dibutuhkan tidak tersedia, atau jumlah persediaan tidak mencukupi, maka dibutuhkan DDP. Sesuai kebutuhannya, DDP lebih dahulu menjalani tes golongan darah yang sesuai dengan gologan darah pasien. Setelah sesuai, darah DDP tetap harus melewati uji tapis untuk kelayakan darah donor.
Setelah proses pencocokan golongan darah, darah DDS dari bank darah dan darah dari DDP melewati uji cocok-serasi (cross-match). Proses uji cocok-serasi meliputi 2 tahap : mayor dan minor. Prinsip dasarnya menguji kecocokan 2 unsur : sel darah merah dan cairan-darah (serum). Antara darah donor dan pasien/resipien harus memenuhi kecocokan pada 2 unsur tersebut. Uji cocok-serasi harus mengantisipasi pula adanya antibodi yang bersifat cold dan warm auto-antibody.
Dalam masa-masa awal perkembangan sistem transfusi darah pernah ada prinsip bahwa golongan darah O (sebenarnya dibaca sebagai "nol" bukan "o") bisa menjadi donor bagi semua semua golongan darah. Sebaliknya golongan darah AB bisa menerima transfusi dari semua golongan darah. Namun prinsip ini sekarang tidak lagi diterima sehingga sebisa mungkin dihindari. Demikian pula, uji cocok-serasi minor secara umum tidak sepenting uji mayor, mengingat sifat darah transfusi yang akan terencerkan. Namun, kondisi ini bersifat kasus per kasus.
Keseluruhan proses uji cocok-serasi berlangsung antara 60-90 menit. Karena itulah selalu ada masa harus menunggu setelah diperoleh darah dari bank darah. Jika darah dari DDP, masih harus ditambah proses uji tapis pertama sebelum uji cocok-serasi sehingga masa tunggunya lebih lama.
Harus pula dimengerti bahwa angka 60-90 menit ini untuk satu darah. Mesin atau alat penguji di PMI bisa menguji 1 atau beberapa sampel darah secara bersama-sama (more than 1 sample in single-running) dengan penggunaan daya yang sama. Demi efisiensi beberapa sampel diuji bersama-sama, sehingga faktor ini pun bisa menambah masa tunggu.
Di samping urutan datangnya permintaan, dalam hal menentukan urutan ini PMI juga mempertimbangkan dasar permintaan darah. Ada istilah "cito" untuk suatu kebutuhan segera (emergency) misalnya pasien perdarahan akut, operasi gawat-darurat atau syok (misalnya pada penderita DBD yang mengalami syok). Tentu darah untuk pasien kelompok "cito" ini akan diprioritaskan daripada pasien yang tidak tergolong cito.
Setelah serangkaian proses uji tersebut, barulah darah transfusi siap diberikan kepada pasien. Selanjutnya dokter lah yang akan memutuskan pemberian, pengawasan dan pemeriksaan pasien lebih lanjut.
Di luar soal waktu pemeriksaan yang harus dijalani tersebut, adanya keterlambatan memperoleh darah transfusi bisa disebabkan beberapa faktor :
1. Faktor geografis dan transportasi dari RS ke PMI.
Kendala jarak menambah lama masa tunggu. Untuk itu terutama di kota-kota besar, masing-masing RS membentuk bank darah. Persediaan darah di RS ini tetap diperoleh dari PMI, karena hanya PMI yang berhak melakukan pengambilan darah untuk tujuan transfusi. Darah tersebut tentu sudah melewati uji tapis pertama.
Bila ada pasien yang membutuhkan, maka bank darah RS tinggal melakukan proses uji cocok-serasi terhadap persediaan darah. Dengan demikian, tidak perlu ada kendala jarak geografis ke PMI. Bila persediaan di bank darah RS tidak mencukupi atau tidak ada, barulah dicari ke PMI. Dalam kondisi di PMI pun tidak terdapat persediaan, terpaksa dicarikan DDP.
Ada pemahaman bahwa "darah dari PMI tetap harus diperiksa lagi di RS", perlu dipahami lebih jelas. Bila yang dimaksud adalah uji cocok-serasi, maka memang harus demikian yang dilakukan bank darah RS sebelum memberikan darah ke pasien. Tentu hal ini tidak perlu dipersoalkan.
Bila yang dimaksud adalah pemerisaan ulang secara menyeluruh, tentu ada faktor lain. Dalam praktek imunisasi dikenal prinsip cold-chain management. Seharusnyalah darah transfusi juga mengenal prinsip close-chain-management sehingga darah selalu dalam alur yang aman dari beberapa faktor penyebab menurunnya mutu maupun risiko kontaminasi. Alasan ini yang mungkin bisa mendasari mengapa RS melakukan pemeriksaan ulang secara menyeluruh.
2. Faktor kebutuhan cito
Dalam kondisi pasien cito, maka masa tunggu akan dirasa begitu menghambat. Dalam hal ini, di beberapa RS ditempuh kebijakan "profilaksis" (hal ini bukan hanya di Indonesia). Bila kondisi pasien mengindikasikan risiko perdarahan, maka dokter menuliskan permintaan darah ke PMI. Selanjutnya PMI melakukan uji tapis dan cocok-serasi dengan "bakal" darah transfusi. Bila pada saatnya benar-benar dibutuhkan, maka darah tinggal diberikan tidak perlu lagi menunggu waktu untuk menunggu keseluruhan uji.
Darah dalam bank darah tidak boleh mengalami pembekuan-pencairan berulang. Karena itu untuk keperluan tindakan profilaksis tersebut, PMI mengharuskan DDP. Kecuali bila kebutuhan lebih dari 1 kantong, maka selama proses transfusi bisa dipersiapkan darah dari bank darah (darah DDS).
Secara rinci, sampel darah DDP yang dipersiapkan keluarga diuji tapis dan cocok-serasi dengan sampel darah pasien. Bila sudah cocok, DDP menunggu dulu. Setelah benar-benar diputuskan kebutuhan transfusi, barulah darah DDP diambil dan ditransfusikan ke pasien. Namun bila kondisi pasien masih baik, darah DDP tidak jadi diambil.
Masalahnya, seandainya darah DDP tidak jadi diambil pun, biaya pengelolaan darah tetap harus dibayar. Mengapa? Sekali lagi bukan darahnya yang "dibayar" tetapi proses pengelolaanya yang membutuhkan biaya. Begitu juga, seandainya darah yang telah diambil dari PMI ternyata tidak jadi diberikan pada pasien, maka PMI tidak bisa menerimanya lagi karena berbagai risiko. Dalam hal demikian, tugas PMI atau RS adalah melakukan pemusnahan secara lege-artis (memenuhi standar).
3. Persediaan golongan darah di PMI atau bank darah tidak tersedia.
Di samping faktor distribusi golongan darah (ada "cerita" tersendiri soal ini), waktu juga menentukan. Pada bulan Agustus, kegiatan donor darah massal banyak dilakukan. Pada bulan-bulan Mei atau September yang biasanya menjadi "bulan dana PMI", jumlah DDS juga tinggi. Sementara pada bulan puasa, jumlah DDS menurun. Untuk bulan-bulan lain cenderung rata-rata.
Begitu juga dengan golongan darah Rh(-). Di Indonesia, pemilik golongan darah ini sekitar 5-10% saja. Untuk itu secara khusus PMI menggalang perhimpunan para donor darah Rh(-) yang banyak diikuti para warga negara asing yang tinggal di Indonesia.
Makin rendahnya DDP dan makin tingginya DDS menunjukkan kinerja PMI yang baik. Tetapi DDS yang tinggi tanpa penggunaan yang tinggi pula, juga berefek negatif. Masa simpan darah di bank darah memiliki batas watu, sebelum mutu darah tersebut melewati ambang batas minimal. Rata-rata setelah 4-5 minggu, darah yang tidak terpakai di bank darah, terpaksa harus dimusnahkan. Hal ini berarti biaya yang harus dikeluarkan untuk uji tapis pertama dan penyimpanan menjadi sia-sia. Untuk itulah PMI antar daerah saling bekerjasama, saling mengisi kekurangan persediaan di masing-masing daerah.
4. Tenaga di UTD yang tidak siap setiap saat.
Adalah kenyataan bahwa kemampuan UTD PMI memberi imbalan jasa kepada sumber daya manusia, memang terbatas. Apalagi di cabang-cabang kecil dengan tingkat permintaan darah yang juga relatif rendah. Padahal komponen jasa ini termasuk dalam biaya pengelolaan darah.
Yang berperan penting, bukan hanya petugas di ruang pengambilan darah. Bahkan kesalahan terbanyak dalam praktek pelayanan darah transfusi justru di tingkat administrasi (pelabelan, penulisan identitas, penyerahan darah kepada yang berwenang dan pengerjaan administrasi yang dianggap "sambilan" sehingga tidak ada petugas khusus).
Yang banyak terjadi, para "politikus" di gedung dewan sering berpikir hitam putih dengan menyerukan keharusan PMI memberi "harga" serendah mungkin. Padahal kenyataan di lapangan, memang kebutuhannya meningkat. Termasuk di dalamnya untuk memberikan jasa yang sepadan terhadap sumber daya manusia, seiring dengan UMR setempat.
Terlihat bahwa faktor-faktor yang memperlambat alur darah transfusi ini, perlu dikaji dan dicarikan jalan pemecahan bersama. Bukan hanya PMI yang bertanggung jawab. Memahami lebih dalam apa yang sesungguhnya terjadi, memberi kita kemampuan lebih untuk bersikap, menilai dan mengeluarkan pendapat maupun saran penyelesaian. Dan menuliskan judul berita "harga darah naik" hanyalah satu sikap ceroboh yang tidak berpikir dalam.
Mari bersama-sama kita menjadi DDS rutin di PMI ...
03 April 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Mungkin perlu tambahan alasan...
:)
Belum adanya prosedur tentang transfusi darah dalam keadaan yang amat sangat darurat (dibutuhkan dalam hitungan detik) seperti yang ada di LN.
Hal ini terjadi karena di Indonesia dengan penduduk yang 99% (data lama yang harusnya tidak akurat lagi) punya rh positif.
Itu yang bikin belum jelasnya kemungkinan untuk pemberian darah O Rhesus negatif pada transfusi darah yang amat sangat darurat.
Post a Comment