26 April 2006

Belajar dari si buah merah: menggunakan obat herbal secara rasional

(ditulis sekitar 1 tahun lalu, esensi isi masih relevan, terkait dengan makin maraknya obat herbal di pasaran).

Akhir-akhir ini fenomena si buah merah sangat menarik, seperti banyak diberitakan di media massa, termasuk harian ini. Khasiat buah yang sudah dikonsumsi turun temurun di Papua ini diklaim mampu menyembuhkan berbagai penyakit seperti kanker rahim, paru-paru dan lever. Juga ampuh bagi para penderita diabetes, hipertensi, prostat, asam urat, stroke maupun wasir. Bahkah belakangan sudah dilaporkan sudah memberi hasil baik pada penderita HIV/AIDS. Khasiat tersebut, menurut penemunya Dr. I Made Budi, MSi, karena buah merah diantaranya banyak mengandung betakaroten, tokoferol dan asam lemak seperti asam oleat, linoleat, linolenat dan dekanoat disamping berbagai vitamin dan mineral seperti kalsium dan Fe (zat besi). Begitu menjanjikan memang, bagaimana mensikapinya ?

Laporan WHO mencatat sekitar 80% masyarakat di negara sedang berkembang mengandalkan obat tradisional untuk pelayanan kesehatan dasar akibat kurangnya pengetahuan atau faktor tradisi. Sementara di negara-negara maju, para pasien memilih obat herbal karena keyakinan akan sifat alamiah yang aman. Sayangnya, ini diikuti juga oleh meningkatnya laporan reaksi merugikan (adverse reaction). Selama tahun 2002, diperoleh laporan adverse reaction sebanyak 9.854 kasus di China dimana terapi tradisional banyak digunakan bersama terapi konvensional (WHO, 2004).

Berdasarkan tingkat keamanannya, guidelines dari WHO membagi obat herbal menjadi 4 kategori. Pertama adalah indigenous herbal medicine, yang secara historis turun temurun banyak dipakai pada kalangan lokal atau daerah tertentu. Dokumen rinciannya kadang ada, tetapi biasanya sulit didapatkan, dan boleh digunakan secara lokal.

Kedua, herbal medicine in system, dimana obat sudah dipakai secara turun temurun dan tersedia dokumen tentang teori dan konsep yang mendasarinya, sehingga bisa diterima oleh banyak negara. Contohnya ; Ayurveda, Unani dan Siddha.

Selanjutnya, bisa dilakukan modifikasi terhadap obat herbal agar memenuhi standar keamanan dan efikasi (modified herbal medicines). Persyaratan akan lebih ketat bila sudah memasuki pasaran ekspor (imported products with a herbal medicine base).

Di Indonesia, Badan POM mengarahkan pengembangan obat tradisional menjadi tiga kelompok berjenjang, yaitu jamu sebagai warisan budaya. Setelah menjalani uji farmakalogi dan baku terstandarisasi, disebut sediaan herban berstandar. Sedang kategori fitofarmaka mengharuskan uji klinik pada manusia. Sayangnya, proses uji klinik ini tidak mudah. Sementara klaim soal efektifitas obat herbal sudah terlanjur banyak kita dengar.

WHO sendiri menetapkan protokol ketat untuk baku mutu melalui Good Agricultural and Collection Practices (GACP) dan Good Laboratory Practices (GLP) untuk mengawal baku mutu sejak dari bahan mentahnya. Kekhawatiran tidak adanya baku mutu ini juga dilontarkan oleh penemu obat merah, meski sudah mengantongi nomor register dari Depkes, karena bamyak pihak mengklaim sebagai produsennya, tanpa standar produksi yang jelas dari pihak berwenang.

Sementara itu, buah merah hanya salah satu dari sekian banyak produk yang diklaim memiliki efek terapi untuk penyakit-penyakit medis, sehingga muncul dorongan agar bisa dimasukkan dalam resep dokter. Fenomena maraknya obat herbal (fitofarmaka) ini sering membuat para dokter kikuk bila harus menjawab pertanyaan dari pasien. Bisa dipahami, bila mereka yang berpegang pada konsep evidence-based medicine tidak mudah menerima hadirnya klaim-klaim semacam itu.

Sekedar contoh, anti-oksidan pada buah merah diklaim bersifat anti-kanker, disamping adanya tokoferol (salah satu anti-oksidan) yang mencegah penyakit jantung kooner. Sementara, meskipun secara teoritis klaim tersebut beralasan, review terhadap laporan penelitian terapi dengan anti-oksidan belum mampu memastikan keguanan vitamin seperti A, C, E atau Beta-carotene dalam mencegah penyakit kardiovaskuler, bahkan pada sebagian laporan berefek negatif. Alasannya, hasil-hasil penelitian masih kontradiktif, dan sebagian besar merupakan studi epidemiologis yang didasari bukan oleh pemeriksaan klinis, namun data historis dan laporan susunan diet subyek penelitian (Hasnain & Mooradian, 2004).

Apalagi, ada juga laporan-laporan efek tidak diinginkan dari penggunaan dan overdosis anti-oksidan. Asupan vitamin C dosis tinggi misalnya bisa mengarah ke gangguan saluran cerna (diare) sampai gangguan perdarahan pada penderita defisiensi G6PD, atau aritmia pada orang yang kelebihan zat besi. Overdosis vitamin A bisa memicu osteoporosis dan teratogenisitas, sementara vitamin E bisa memperburuk retinitis pigmentosa serta risiko stroke hemorrhagis. Ada juga laporan kegagalan operasi oleh perdarahan, yang setelah ditelusuri akibat konsumsi jangka panjang Ginko biloba.

Para pasien, cenderung tidak terbuka terhadap dokter bila dirinya – secara terpisah atau bersama-sama obat medis – juga mengkonsumsi obat herbal. Uniknya, bila akhirnya sembuh, cenderung “keberhasilan” tersebut dialamatkan pada obat herbal. Sementara saat ternyata gagal, cenderung dokter/obat medis yang dituding tidak mampu mengobati, bahkan bisa dituding menjadi penyebab kematian pasien. Padahal laporan WHO menyebut, salah satu penyebab adverse reaction adalah tidak dilaporkannya penggunaan obat herbal kepada dokter yang merawat, termasuk kasus perdarahan saat operasi pada contoh sebelumnya.

Lontaran yang sama muncul dari ahli AIDS FKUI yang menyatakan, banyak penderita HIV/AIDS berhenti berobat beralih ke buah merah, padahal obat bagi mereka saat ini masih gratis. Dokter tidak mengetahui, tetapi mendapat laporan dari para pendamping. Akibatnya sejumlah pasien sampai meninggal. Sementara, menurut dokter tersebut, penderita yang membaik dengan buah merah sebenarnya adalah yang masih tetap bersama-sama menggunakan obat dari medis, artinya karena obat anti virusnya.

Intinya, sering terjadi kebuntuan komunikasi antara dokter-pasien dalam hal terapi alternatif. Kondisi ini diperparah oleh suasana yang seolah secara diametrikal menempatkan dokter dengan “terapi konvensional” di satu sisi dengan “terapi alternatif” di sisi lain, termasuk – atau terutama – obat herbal. Uniknya, para praktisi terapi alternatif tidak jarang mendasarkan klaim efektiftas obat herbal dengan perbandingan terhadap “terapi konvensional”, tanpa melalui suatu uji klinik standar.

Bila berpegang pada prinsip evidence-based medicine tentu saja dokter tidak bisa menerima suatu obat herbal tanpa penelitian yang standar. Namun, data-data empirik pada hampir semua klaim obat herbal, seperti misalnya yang dipaparkan oleh penemu buah merah, tentu tidak bisa begitu saja diabaikan. Sementara ke depan, WHO sendiri mengharapkan obat tradisional bisa dikembangkan secara ilmiah, agar nantinya peresepan harus oleh tenaga berkualifikasi, guna meminimalkan adverse reaction.

Disisi lain, pertumbuhan industri dalam hal obat herbal juga makin marak, sehingga secara ekonomis akan memiliki dampak bagi penghasilan mereka yang terkait di dalamnya, termasuk para petani di lapisan bawah yang mulai melirik harapan menanam bahan mentah obat herbal.

Menghadapi kenyataan ini, mau tidak mau, jalan tengah harus dicari. Secara manusiawi, tidak ada penggunaan obat herbal yang bertujuan buruk, sayangnya juga tidak banyak yang sudah dilengkapi dokumen pendukung soal efektifitas dan keamanannya. Beberapa penelitian mendapatkan petunjuk akan manfaat kandungan zat dalam tanaman. Sebut saja seperti xeronine dalam mangkudu, organosulfur dalam sayuran jenis allium (seperti bawang putih), lycophene dalam tomat atau flavonoids dalam teh hijau, terbukti ada manfaatnya. Masalahnya, efek itu masih bersifat “multi-faces” untuk berbagai ragam penyakit, tidak spesifik. Karena itu yang bisa disepakati sejauh ini, meski ada beberapa yang bersifat short-action, efektifitas obat herbal lebih bersifat maintenance, jangka panjang, dan regeneratif.

Untuk itu, penulis berpendapat, penggunaan obat herbal sebaiknya mengikuti pola 5-R yaitu rapid-clearance, rythmic, re-check, relaps, dan report. Istilah ini rekaan penulis untuk mudah diingat.

Lebih jelasnya, kita ambil contoh konsumsi buah merah pada penderita diabetes. Langkah pertama kadar gula darah harus tetap dikendalikan lebih dulu dengan obat-obat medis (rapid-clearance). Setelah tercapai kadar terkendali, secara bersama-sama dengan obat medis mulai meminum "ramuan sehat" tersebut. Cara minum ini menuntut keteraturan/ketelatenan (rhytmic), bila tidak maka sulit dipastikan tercapai hasil maksimal (bila memang nantinya efektifitasnya terbukti). Pastikan pula, keputusan minum obat ini didiskusikan dengan dokter yang merawat.

Kemudian, check and re-check secara berkala tetap harus dijalankan, untuk melihat perubahan, termasuk untuk menyesuaikan dosis obat medis bila terjadi perbaikan atau perburukan. Yang tidak diharapkan, karena merasa kadar gula darah puasa dan 2 jam PP sudah terjaga, lantas berhenti check, yang penting terus minum obat herbal. Risiko hipoglikemia tidak lebih ringan risikonya daripada hiperglikemia pada penderita diabetes, bila tanpa pengecekan berkala. Paling tidak setiap 3 bulan ada baiknya re-check dengan HbA1c.

Di tengah kebiasaan rutin mengkonsumsi ramuan sehat ini tetap harus diwaspadai munculnya tanda-tanda perburukan (relaps). Misalnya penderita merasa jadi lebih sering mengantuk menjelang siang hari. Bila ini terjadi, jangan lantas sekedar merubah pola minum (misalnya ditambah sering), lebih baik diskusikan lagi dengan dokter agar diketahui mengapa sebabnya atau apa yang sebenarnya terjadi.

Terakhir, sangat baik bila mau melakukan pencatatan (report) perubahan-perubahan yang dirasakan dikaitkan dengan kebiasaan minum tersebut. Dari catatan tersebut, suatu saat akan mudah dilihat kapan ternyata muncul efek yang diharapkan maupun efek samping yang tidak diinginkan, bagaimana efek dari perubahan frekuensi dan takaran, dan seterusnya. Kalau ternyata berhasil baik, catatan yang rapi ini sangat baik. Kalaupun belum mendapatkan hasil yang diharapkan, catatan tersebut tetap berguna untuk dikaji kembali. Langkah reporting ini juga direkomendasikan oleh WHO agar tersusun dokumentasi obat herbal, guna kepentingan penelitian lebih lanjut, sehingga ada harapan akhirnya obat herbal bisa diterima dalam formula terapi medis, setelah melewati uji klinis paripurna.

Pola seperti ini, dalam hemat saya, akan bisa diterima oleh dokter, tanpa harus merasa “dikelabui” oleh pasien. Sekaligus dokter, pasien maupun pihak lain yang berwenang bisa mendapatkan pengalaman dan data baru, tanpa harus mengurangi saling percaya dalam suasana hubungan dokter-pasien. Ini tidak lantas berarti Badan POM dan yang terkait sekedar menunggu, tetap saja harus ada langkah proaktif sebelum akhirnya beban masalah yang mungkin timbul dalam soal tanaman herbal ini makin menggunung.

14 April 2006

(3) Virus, sistem imun dan antibiotika

Pertanyaan “lantas kapan antibiotika selayaknya diberikan pada infeksi yang kebanyakan akibat virus” adalah hal yang sulit dijawab dengan tuntas.

Mengapa? Benar, 90 (atau bahkan 95%) penyakit saluran pernafasan pada anak-anak disebabkan virus. Benar, bahwa antibiotika bukan obat untuk virus, karena yang membunuh adalah sistem pertahanan tubuh.

Sebaliknya, benar pula bahwa infeksi virus bisa menimbulkan kerentanan. Benar bahwa karena rentan, bakteri bisa 3menumpang2 ikut menyerang. Dan jelas bakteri itu obat-nya antibiotika (tentu dengan sistem pertahanan tubuh juga).

Lantas, bagaimana kita tahu bahwa bakteri sudah menumpang? Jawaban standar: dibuktikan dengan tes laboratorium. Berapa hari pemeriksaannya ? Berapa bayarnya ? Selama menunggu itu bagaimana ? ...

Urut-urutan dasar seorang dokter menegakkan diagnosa seharusnyalah tetap melewati prosedur baku: anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, baru diagnosa. Setelah diagnosa ketemu, barulah ada terapi.

Bagaimana melakukan anamnesis, melakukan pemeriksaan fisik, adalah hal-hal yang boleh dianggap “inti” dari ilmu menjadi seorang dokter. Soal penentuan/interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium, bahkan soal analisis hasil pemeriksaan, kalau mau bisa dibaca ilmunya. (Ilmu kedokteran itu sebenarnya open-book, tidak ada yang ditutup-tutupi, tidak ada yang namanya "jurus guru jurus cantrik").

Tetapi ketika sampai pada “melakukan dan menganalisis anamnesis, melakukan dan menganalisa pemeriksaan fisik”, disinilah faktor “the man behind the gun” akan berbicara. Dan hal inilah yang paling sulit dicapai melalui fasilitas “maya” semacam rubrik konsultasi cetak/online dan milist.

Sebagian besar kalau tidak ingin dikatakan hampir semua dokter tahu dan sadar soal “kesalahan” melakukan poli-farmasi, soal risiko resistensi antibiotika, soal virus dan banyak hal lain. Masalahnya, ketika berhadapan dengan pasien, yang ada adalah “harus membuat keputusan”.

Agar fokus, ketika berhadapan dengan pasien bayi/anak-anak dokter juga sadar bahwa “anak-anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini”, penyakitnya bisa lain, perjalanan penyakit bisa lain, respon terapinya lain, efek dan side-effect obatnya juga lain let alone soal-soal yang lebih “sederhana” semacam menghitung dosis obatnya.

Mengapa diberikan antibiotika? Mengapa tidak diperiksa laboratorium dulu? Prinsip kedokteran jelas menyebutkan: menggunakan kemampuan tertinggi untuk sebesar-besar keuntungan pasien. Saya kira, kalau memang semua data bisa didapatkan dalam waktu sesingkat mungkin, semua dokter juga senang, karena lebih mudah baginya memutuskan.

Kok dokter langsung memberikan antibiotika tanpa pemeriksaan laboratorium? Secara obyektif, akan ada 2 kelompok alasan:

Faktor medis: memang kondisi infeksinya sudah berat, untuk itu diberikan antibiotika narrow spectrum, sambil dilakukan pemeriksaan lab, untuk kemudian dilihat perkembangannya; atau dokter sudah tahu riwayat medis si pasien sebelumnya.

Faktor non medis: memang pasien tidak mampu melakukan tes laboratorium lebih dahulu, kondisi lingkungan pasien tidak mendukung bila harus menunggu pemeriksaan lab lebih dahulu (higiene dan sanitasi kurang), dan sejenisnya.

Bagaimana tahu kondisi infeksinya sudah berat? Kembali, ananmesis dan pemeriksaan fisik secara langsung hampir tak bisa tergantikan oleh pemeriksaan “jarah jauh” (sampai batas tertentu bisa dicapai dalam konsep referral and second opinion yang selayaknya).

Tanpa laboratorium, bagaimana dokter berani menentukan antibiotikanya? Ada dua hal :

Secara obyektif. Darimana kita tahu bahwa “setelah DPT anak demam ringan, membaik meski tanpa obat sekalipun”, atau bahwa “kejang demam pertama kurang dari 5 menit, hanya 30% yang akan terulang dalam 6 jam kemudian”, atau juga tahu bahwa “95% common problems pada anak-anak terjadi karena virus”? Itu semua adalah data statistik, diperoleh dari pencatatan secara berkesinambungan.

Secara statistik pula dokter mendapat informasi bahwa “penyakit X biasa disebabkan bakteri Y, yang memiliki respon terapi sekian persen baik dengan antibiotika A, tetapi resisten terhadap antibotika B”.


Secara subyektif. Keunggulan dokter ditentukan juga oleh pengalamannya, yang akan membentuk "intuisi". Dan bicara "intuisi", tentu kita paham, ini bukan soal untuk diperdebatkan "intuisinya", yang bisa dinilai hanya "hasil"nya.

Bagaimana di lapangan? Saya tidak berani memastikan, tetapi menghadapi kenyataan seperti itu di lapangan, saya kira akan ada 3 kelompok dokter:

1. Di sisi ekstrem kiri dari kurva normal akan ada sekelompok dokter yang "emang gue pikirin" pokoknya memberi obat for whatever the reason is.
2. Di sisi ekstrem kanan dari kurva normal, akan ada sekelompok dokter yang berusaha teguh memegang "teori" sambil berusaha sekuatnya mengikuti perkembangan. Yang begini ini, mohon maaf, tentu memerlukan jiwa besar dan ketegaran menghadapi "mekanisme pasar".
3. Sebagian besar dokter akan berusaha mengambil jalan tengah, melihat situasi-kondisi pasien. Tetap mengikuti teori dan perkembangannya, berusaha melakukan edukasi, tetapi juga mau melakukan kompromi (sampai batas-batas tertentu).

Ah, itu kan dokter-nya yang nyari untung? Soal untung, itu relatif, tetapi tidak perlu dipungkiri bahwa dokter juga memikirkan self-interest. Mulai soal yang relatif "kecil" semacam tidak dapat pasar karena pasien merasa tidak puas.

Sampai ke yang jauh lebih serius, seperti analogi berikut. Dokter meyakinkan bahwa "Bu ini tidak perlu antibiotika karena 95% disebabkan virus". Tetapi 2-3 hari kemudian anak tiba-tiba masuk ke kondisi shock-septic. Apakah benar bahwa dkternya tidak akan disalahkan dan bisa membela diri karena "lha saya kan ada dasar ilmunya bilang begitu"?

Iya sih, tetapi berarti itu dokternya "nggak pede" dong? Pada akhirnya ilmu kedokteran itu bukan sekedar "ilmu" tetapi juga "art". Dokter diharuskan mampu meniti tali antara simpul "teori by book" di satu ujung dengan "cost-benefit-ratio" di sisi lain. Apakah berarti dokter tidak "pede"? Bisa terjadi demikian kalau dia tidak sanggup "meniti tali ilmu dan seni" tadi, tetapi tidak akan terjadi kalau memang memiliki kemampuan profesional untuk membuat judgement.

Lho, kalau ternyata kekhawatiran dokter itu "salah" kan bisa berabe? Menghadapi ini, ada yang mengatakan : risiko obat itu jelas bisa diprediksikan, tetapi risiko penyakit sulit diperkirakan. Ibaratnya, daripada menanggung risiko kena "penyakit" masih lebih enak menanggung risiko "obat".

Apakah sesederhana itu? Tentu saja tidak. Betapa beban dokter ringan bila memang paradigma itu yang dipakai. Justru kembali ke awal tadi : how doctor he/she is ....

Terakhir, saya jujur masih termasuk kelompok dokter di "tengah-tengah kurva" tadi, esuai dengan kondisi lapangan yang waktu itu saya hadapi. Tentu, saya tetap berpegang pada teori, tetap mengikuti perkembangan. Usaha edukasi tetap saya jalankan, tetapi sampai batas tertentu, saya juga tetap melakukan kompromi. Semata-mata demi keyakinan bahwa itu semua untuk sebesar-besar keuntungan pasien.

Semoga bermanfaat.

(2) Virus, sistem imun dan antibiotika

Seperti banyak disampaikan: virus itu tidak ada obatnya!

Secara ringkas ini jelas salah, wong ada yang namanya "obat anti virus" (antiviral therapy) kok!

Tapi, dua-duanya perlu dipahami lebih dalam. Memang, seperti paparan sebelumnya, secara langsung virus itu sendiri tidak bisa di-mati-kan seperti antibiotika mematikan bakteri (ada memang zat yang bisa mematikan virus secara langsung seperti detergen, alkohol, formaline, tapi tentu tidak mungkin meminumnya untuk membunuh virus di dalam tubuh bukan?).

Lantas, antivirus itu untuk apa?

Untuk bisa memasuki suatu sel, perlu "kunci". Agar virus bisa masuk dengan aman, maka dia memiliki "kunci palsu" yang mirip dengan kunci asli. Dengan cara ini tentara penjaga pintu gerbang maupun barisan intelijen tidak mendeteksinya, karena dianggap "teman" sendiri. Melengganglah virus dengan santai masuk pintu di dinding sel.

Begitu masuk pintu ini, sebenarnya kebanyakan virus tetap meninggalkan jejak yang tertangkap radar barisan intelijen. Sebelum masuk sel, umumnya virus harus melepaskan bajunya (dinding/membran/envelope) dulu. Baju lepas inil yang mudah dikenali oleh tentara tubuh. Bahkan ada virus yang "jaket" (envelope) si virus ini sudah bisa menimbulkan reaksi sistem imun (misalnya HBsAg dari Hepatitis-B). Masalahnya, setelah virus terlanjur masuk sel, barisan intelijen dan batalyon pemukul bingung. Kalau akan dihancurkan sel yang ditumpangi itu masih "keluarga" tubuh sendiri.

Satu kelompok obat antivirus berusaha mencari jalan menghambat kerja virus mencari home-base ini, paling banyak dengan teknik "kompetisi" menutup celah di dinding sel yang "kunci palsu"nya sudah dipegang si virus.

Kelompok antivirus lain, berusaha mengganggu kerja virus dalam menumpang dan menguasai home-base-nya. Dalam teknik ini ada risiko memang, meski sudah diminimalkan. Kadang terpaksa sel yang menjadi home-base- ikut rusak dalam usaha menghancurkan virus yang "menyusup" ke dalamnya. Yah daripada terlanjur dikuasai virus, terus jadi home-base serangan, terpaksa mengorbankan satu sel keluarga sendiri ...

Disamping itu, ada kelompok obat antivirus yang berusaha memperingan efek penyerangan virus dengan cara menghambat kerja "peluru dan meriam" (zat-zat tertentu yang dikeluarkan si virus) penyebab sakit pada tubuh manusia.

Sejauh ini, belum ada obat antivirus yang 100% berhasil menahan/menghambat/ menghancurkan virus. TETAPI efeknya tetap signifikan dalam : memperingan efek serangan virus, meminimalkan efek sisa paska serangan dan memperingan kemungkinan penularan terhadap orang lain.

Sebagai contoh : pada Herpes zoster, pemberian Acyclocyr akan efektif bila mulai diberikan sebelum 24 jam pertama. Mengapa? Agar masih ada kesempatan untuk melawan kerja si virus, sehingga sequele (gejala sisa) bisa minimal. Kalau terlambat, virus terlanjur menguasai keadaan, maka dia akan sempat membentuk "tempat persembunyian" di pangkal pembuluh syaraf, kemudian suatu ketika kembali menyerang.

Ternyata, ada juga virus yang makin pinter. Virus hepatitis B atau HIV misalnya, bisa melakukan teknik "doormant". Begitu masuk sel, dia melihat bahwa suasana di luar sel tidak kondusif untuk melakukan serangan.

Menghadapi ini, si virus akan "sembunyi" dengan cukup menumpang saja, yang penting tidak mati, tidak ambisius menguasai sel tempatnya menumpang. Sampai suatu saat nanti, tentara pas lemah - mungkin situasi politik lagi goyah - si virus bangun dari tidurnya dan menyerang manusia. Karena itu, masa inkubasi HIV bisa bertahun-tahun, baru benar-benar menimbulkan masalah.

Bahkan, sekarang mulai banyak virus hepatitis B yang sudah mengalami mutasi. Akibatnya jaket HbsAg yang biasa dikenali tentara tubuh, bisa berubah penampilan sehingga tidak dikenal. Anti-Hbe yang seharusnya terbentuk setelah infeksi, juga bisa terhambat. Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah maraknya vaksinasi massal hepatitis B. Bukan vaksinasinya yang salah, tetapi memang itulah cara virus memenuhi prinsip “survival of the fittest”.

Apakah virus itu memang kerjanya hanya bikin susah? Hmm, ternyata Tuhan memang maha bijaksana. Memanfaatkan sifatnya yang "bak James Bond", jenis virus tertentu bisa kita "titipi" zat terapetik, kemudian di-infeksikan agar memasuksi sel-sel tertentu dalam tubuh kita, sehingga zat terapetik itu ikut terbawa kesana.

Pada lapangan Gene-Therapy, si virus ini kita "rekayasa" agar memiliki sifat genetik tertentu, kemudian kita infeksikan, dia memasuki sel-sel dalam tubuh, menguasai sel tersebut, sehingga akhirnya sel tersebut berubah sifat genetiknya sesuai keinginan kita. Tentu saja, untuk ini dipilih virus-virus yang sudah "dijinakkan".

Pertanyaan berikutnya yang sering muncul: kalau tahu memang infeksi virus, mengapa dokter memberi antibiotika?

Berlanjut …

(1) Virus, sistem imun dan antibiotika

(Sering terlontar kalimat "itu kan virus, ngapain dokternya ngasih antibiotika" di milis. Tulisan ini berusaha memperjelas masalahnya. Maaf, terpaksa lumayan panjang semata-mata agar meminimalkan bias. Isi tulisan ini bukanlah sesuatu yang "baru" bagi para Sejawat, anggap saja ini tulisan ringan selepas kerja).

Kalau kita menganggap secara sederhana unit kehidupan terkecil adalah sel, maka sebenarnyalah si virus ini hanya "setengah hidup". Kalau bakteri memiliki perangkat lengkap DNA dan RNA, si virus hanya punya salah satu saja. Karena setengah hidup, maka antibiotika - anti terhadap yang "bio", yang hidup - tidak mempan melawan virus.

Namun, karena sifat "setengah hidup" ini pula, virus butuh sel yang hidup untuk "ditumpangi". Begitu masuk tubuh manusia, segera si virus mencari sel manusia untuk tumpangan. Setelah masuk sel, si virus akan berusaha menguasai sel tempatnya menumpang, dengan menguasai sistem di dalam sel dan menjadikannya home-base. Sebelum benar-benar menguasai sel tempatnya menumpang, virus perlu waktu, ini yang kita kenal sebagai masa inkubasi. Setelah menguasai itulah, si virus akan menimbulkan penyakit beragam bentuknya, dengan melepaskan berbagai "peluru dan meriam".

Masalahnya, setelah berhasil menguasai suatu sel kemudian menjadikannya home-base serangan, maka menjadi bumerang buat si virus. Sel yang ditumpangi itu akan mati dan pertahanan si virus menjadi terbuka. Terpaksa si virus harus beralih mencari "home-base" baru.

Sementara itu, saat tubuh manusia kemasukan si virus tamu tak diundang, tentu saja tentara penjaga tubuh tidak tinggal diam. Segera mereka membentengi diri. Ketika virus harus mencari "home-base" baru, mereka akan terhadang pertahanan tubuh.

Jadilah si virus kehilangan sumber kehidupan, dan berakhirlah riwayatnya. Karena itulah sangat dikenal paradigma: penyakit akibat virus bersifat self-limiting disease - lama-lama si virus juga mati sendiri – dan tidak perlu antibiotika.

Lha kok kemarin katanya bisa saja diberikan obat ?

Seperti disebut diatas, tentu tentara tubuh tidak akan sekedar melongo di markasnya melihat si virus merajalela. Terjadilah perang baratayudha, antara Pandawa yang berbaju putih (sel-sel darah putih) melawan Kurawa berjas hitam (Men in Black eh si virus maksudnya). Saking hebohnya pertempuran, masing-masing saling melepaskan senjata pamungkas, tubuh si anak jadi demam.

Mengapa ? Karena si kurawa ini termasuk tentara yang meski sakti, penampilan seram bak preman pasar ...mana aja deh, ketimbang disomasi .... tapi manjanya nggak ketulungan. Kalau tubuh manusia demam, dia jadi cepat lelah, nggak garang lagi. Sementara si putih, kalau terjadi demam, malah makin giat bertempur, makin giat mencetak tentara baru.

Karena itulah dipahami bahwa : kalau anak demam jangan buru-buru panik dan memberi obat. Mengapa ? Asal pertahanan memang kuat, terus suhu tubuh naik, maka virus makin cepat dikalahkan ...

Mengapa kadang diperlukan obat ?

Setiap hari, sebenarnya banyak musuh mengancam tubuh manusia, ada si virus hitam, ada si hijau bakteri (termasuk kerabatnya si parasit semacam cacing atau plasmodium biang keladi malaria).

Tetapi sebaliknya, tubuh juga punya tentara. Kita cerita soal sistem imun tubuh dulu deh. Tentara tubuh terbagi atas 3 batalyon utama: penyerang/pemukul, intelijen dan markas.

Si penyerang/pemukul ini siaga di semua lini dari pintu gerbang (kulit, selaput lendir, permukaan usus) sampai siap diterjunkan melawan musuh di segala medan dalam tubuh manusia.

Si intelijen bergerak lincah mengawasi setiap sudut, mengenali mana kawan mana lawan, memberikan informasi kepada penyerang: mana yang harus diserang, mana yang harus di-blokade, mana yang harus hati-hati tidak boleh gegabah dihancurkan.

Si batalyon markas bekerja di litbang, merancang setiap strategi serangan maupun memproduksi senjata ampuh (antibodi) berdasarkan informasi dari batalyon intelijen. Informasi setiap musuh yang pernah menyerang, disusun dalam database (sistem sel memori), agar tentara lebih siap kalau suatu saat si musuh yang sama kembali menyerang.

Nah, meski banyak si hijau (bakteri) yang setiap saat mengancam tubuh Manusia, tetapi nasibnya lain dengan virus. Kalau virus, dia bisa masuk tubuh melalui berbagai teknik kamuflase dan "kunci palsu" sehingga - lagi-lagi karena sifat setengah hidupnya tadi - tidak mudah terdeteksi oleh tentara tubuh penjaga pintu gerbang, bahkan seringkali bisa menipu mentah-mentah, licin bagai belut, cerdik bagai kancil, tidak kalah dengan jagoan kita : I am Bond, James Bond ...

Lain dengan si hijau, dasar orangnya "lugu", seragamnya norak, gaptek lagi, tentara tubuh cepat mendeteksi. Jadilah pada saat tentara segar-bugar, siap senjata, si hijau hanya bisa sekedar melakukan provokasi, sementara tentara tubuh bahkan sudah siap kalaupun harus melakukan pre-emptive strike.

Saat tubuh bertempur baratayudha, tentulah dia akan banyak kehilangan Sumber daya, konsentrasinya akan terfokus, pertahanannya akan rentan. Saat-saat seperti itulah, si hijau (bakteri) punya peluang mencari celah masuk tubuh manusia, memanfaatkan kesempatan.

Lantas gimana? Harus diberi "antibiotika"?

Bisa dibayangkan, kalau saat harus bertempur, padahal sehari-hari si tentara ini sudah kurang makan, kurang gizi, bahkan kurang personel gara-gara nggak ada bakal tentara yang memenuhi syarat (tumbuh kembang tubuh kacau).

Karena itulah, pada kondisi tertentu, diperlukan "doping" power dari luar ("obat") agar para tentara itu sanggup mempertahankan tubuh dari pertempuran melawan virus, sekaligus membentengi diri terhadap provokasi si bakteri.

Agar tidak salah dimengerti, “obat” ini bisa macam-macam, tidak selalu berarti antibiotika, tidak selalu berarti obat dari dokter. Makan sup hangat dan teh manis juga pasokan “doping” yang baik untuk membantu tubuh melawan virus.

Kapan kira-kira pasokan power dari luar ini diperlukan Faktor-faktor yang gampang dipahami : kalau pertempuran melawan virus sudah kelewat lama, analisa terhadap profil pertahanan tubuh sebelumnya mengindikasikan banyak kelemahan (sudah sering sakit-sakitan, tumbuh kembang terganggu, ada sifat alergi), atau bila tanpa disadari si bakteri sudah terlanjur menembus barikade pertahanan.

Siapa yang menilai kebutuhan pasokan dari luar ini ? Bisa dari tubuh itu sendiri yang mengibarkan bendera dan berteriak minta tolong (misalnya kejang akibat demam mendadak, panas tinggi terus menerus tanpa perbaikan, nyeri yang sangat) atau terlihat dari luar muncul tanda-tanda sudah ada penyusupan bakteri yang memperparah serangan si virus (misalnya terbentuk pus/discharge, pembengkakan, dan pemeriksaan lab tentunya). Dalam hal ini, Security Council (Doctor) lah yang akan menilainya.

Berlanjut …

13 April 2006

Medikalisasi khitan pada bayi perempuan

(Berikut adalah tulisan ulang dari tulisan sekitar 1 tahun lalu).

Bila terjadi kontroversi seputar sirkumsisi pada anak/bayi laki-laki, nampaknya semua mudah sepakat tentang sunat pada bayi perempuan. Pada beberapa komunitas, dilakukan praktek sunat perempuan yang diserupakan dengan sirkumsisi pada laki-laki. Karena klitoris merupakan "kembaran" penis, maka kulit di sekitar klitoris juga harus dibuang, seperti membuang preputium. Bahkan ada yang sampai memotong klitorisnya itu sendiri.

WHO mencatat ada 4 tipe female genital mutilation. Tindakan "memotong kulit di sekitar klitoris" (yang sejenis dengan preputium pada penis) merupakan tipe paling ringan. Sulit dibayangkan bagaimana kondisi dari tipe-tipe yang lebih berat.

Tindakan ini tidak dikenal sama sekali dalam dunia medis. Pemotongan atau pengirisan kulit sekitar klitoris apalagi klitorisnya sangat merugikan. Tidak ada indikasi medis untuk mendasarinya. Seorang bidan di Jawa Barat pernah mengulas tentang hal ini karena menemukan bekas-bekasnya pada pasiennya. Kenyataannya memang ada kelompok yang meyakini bahwa anak perempuan pun diwajibkan menjalani khitan. Dan praktek tersebut dilakukan juga, bahkan di pusat-pusat pelayanan kesehatan.

Sekitar 1 tahun lalu, Kementrian Pemberdayaan Wanita mengeluarkan seruan untuk menghentikan medikalisasi sunat perempuan. Namun, saya memandang seruan ini harus dikaji secara komprehensif.

Praktek sunat pada perempuan (SP) sudah ada sejak jaman sebelum masehi. Penelitian anthropologi mendapatkan praktek tersebut pada mummi mesir yang justru ditemukan pada kalangan kaya dan berkuasa, bukan oleh rakyat jelata. Ahli antropologi menduga pada jaman kuno sunat untuk mencegah masuknya roh jahat melalui vagina.


Survei epidemiologi WHO menemukan beberapa alasan melakukan SP seperti identitas kesukuan, tahapan menuju wanita dewasa, pra-syarat sebelum menikah juga pemahaman seperti klitoris merupakan organ kotor, mengeluarkan sekret berbau, mencegah kesuburan atau menimbulkan impotensi bagi pasangannya. Banyak hal medis terkait dengan alasan FGM ini kemudian terbukti salah.

Sebagai dokter saya mendapati praktek SP bukan monopoli mereka yang “terbelakang”. Saat ini tidak sedikit keluarga muda, sarjana, bekerja dan hidup di perkotaan, justru bersemangat melakukannya terhadap anaknya, bahkan meski mereka sendiri di masa kecilnya tidak mengalaminya. Semangat menjalankan agama nampaknya berpengaruh dalam hal ini.

Menurut berita tersebut, medikalisasi harus dilarang meskipun filosofinya adalah mengurangi risiko kesehatan daripada dilakukan oleh bukan tenaga medis. Langkah ini dianggap berbahaya karena menggunakan peralatan seperti pisau, jarum dan gunting.

Memang, sekilas gambaran medikalisasi SP menakutkan karena penggunaan-penggunaan alat-alat seperti itu. Tetapi yang saya ketahui dan pernah baca di media, yang dilakukan adalah membuat perlukaan kecil pada daerah klitoris. Bahkan, banyak yang hanya mempraktekkan “sunat psikologis” dimana sekedar ditoreh sedikit dengan ujung jarum, keluar setetes darah, dan orang tua pasien sudah puas. Bahkan kadang, seperti yang juga saya lakukan selama bekerja di klinik Ibu-Anak dulu, hanya di”sandiwara”kan dengan meneteskan cairan antiseptik sewarna darah, yang sekaligus diteruskan dengan pembersihan daerah sekitar klitoris.

Perlu disadari, dalam hal ini kita berhadapan dengan orang tua yang merasa memiliki kewajiban untuk melakukan tindakan tersebut terhadap anaknya. Ketika ini sudah berkaitan dengan soal keyakinan agama, maka persoalannya tidak lagi sederhana, yang berujung pada perilaku kesehatan. Rasanya kita semua mengerti bahwa menghadapi masalah perilaku, tidak sekedar soal larang-melarang.

Yang menarik, sebenarnya tuntunan agama dalam hal ini pun menyebutkan "Sentuh sedikit saja dan jangan berlebihan, karena hal itu penyeri wajah dan bagian kenikmatan suami". Bukankah berarti menjadi cocok dengan pilihan para petugas medis yang hanya "menorehkan" sedikit luka tersebut? Dan bukankah berarti praktek yang sampai beberapa tipe tersebut sebenarnya tidak dilandasi pemahaman agama yang tepat?

Soal kesehatan reproduksi wanita ditonjolkan oleh kelompok “penentang” SP, tetapi bagaimana dengan makin maraknya body-piercing bahkan terhadap alat kelamin di kalangan wanita? Kalau soal hak menentukan pilihan sendiri yang berikutnya ditonjolkan, bukankah sunat perempuan pun merupakan pilihan sendiri sesuai keyakinannya? Bagaimana juga kalau dipertanyakan kewajiban negara untuk melindungi kebebasan warganya menjalankan keyakinan agamanya sebagai bagian dari hak asasi manusia?

WHO sendiri memang juga berpendapat tidak boleh ada praktek FGM oleh tenaga kesehatan. Tetapi European Journal of Obstetrics and Gynecology bulan Oktober 2004 lalu menganalisa bahwa usaha terbaik untuk mengatasi praktek sunat perempuan harus berupa pendekatan yang non-direktif, sesuai dengan kultur lokal dan dari banyak sisi (multi-factes).

Wujudnya berfokus pada peranan kelompok masyarakat itu sendiri dalam mensikapi praktek FGM, dengan muaranya adalah munculnya keputusan mandiri, bukan atas program dari luar.

Pengalaman di beberapa negara, pendekatan legal-formal secara direktif justru menimbulkan resistensi. Bisa dibayangkan kalau tenaga medis benar-benar dilarang “melayani” sunat perempuan, bukankah justru membuka lebih lebar peluang praktek secara “tradisional”.

Pengalaman di Kenya menunjukkan, justru melalui medikalisasi secara perlahan bisa dicapai pemahaman masyarakat yang lebih proporsional soal SP. Sebagian masyarakat memang tetap menganggapnya sebagai kewajiban, tetapi kepedulian terhadap risiko kesehatan membuat mereka lebih berhati-hati. Wujudnya dengan memilih tipe FGM yang berisiko minimal (tipe paling ringan atau sekedar sunat-psikologis), bahkan masih ditambah meminta injeksi anti-tetanus sebagai tindakan pencegahan.

Penggunaan jarum, pisau atau gunting oleh tenaga medis disamping prosedur tindakan yang memenuhi prinsip aseptik dan anti-septik, tidak bisa dibantah akan meminimalkan risiko kesehatan. Bukankah ini juga yang dikehendaki bersama?

Yang harus diatur, menurut penulis, justru tidak boleh ada praktek sunat perempuan bukan oleh tenaga yang tersertifikasi. Selanjutnya kepada tenaga medis diterbitkan aturan standar praktek sunat perempuan, dengan mengacu pada risiko minimal. Bukankah alasan ini pula yang mendasari sikap Depkes soal pengaturan tindakan aborsi?

Lebih jauh lagi, para tenaga medis bisa memberikan banyak penjelasan soal kesehatan reproduksi, terutama bagi wanita. Para orang tua lebih bisa menerima penjelasan ini, karena tenaga medis tidak harus menunjukkan “resistensi” terhadap keinginan mereka memenuhi kewajiban sunat bagi anaknya. Pengalaman di beberapa negara, kondisi positif seperti ini justru tidak bisa diperoleh kalau pelayanan sunat perempuan oleh tenaga medis di larang pemerintah. Bahkan tidak jarang usaha penyuluhan dianggap sebagai usaha merusak kebudayaan lokal.

Kita sebenarnya memiliki banyak pengalaman soal pendekatan yang culture-spesific misalnya mensikapi kebiasan footbinding (gedhong, bedhong) terhadap kaki bayi-bayi yang dulunya juga dilandasi soal “kemuliaan wanita”. Secara perlahan orang tua lebih proposional memandang kebiasaan tersebut dengan pemahaman yang tepat.

Sementara itu, pendekatan multi-facets harus melibatkan pihak-pihak seperti organisasi keagamaan, mengingat bagaimanapun itu alasan yang mendominasi praktek sunat perempuan di Indonesia, agar diperoleh kesamaan pandangan agama soal sunat perempuan. Kurikulum kesehatan reproduksi yang marak diusulkan juga wahana yang baik untuk mendidik pemahaman masyarakat.

Muara dari langkah tersebut, pada akhirnya masyarakat akan mampu membuat keputusan sendiri soal sunat perempuan. Dalam proses menuju kesana, tindakan seperti melarang tenaga medis melayani sunat perempuan, hanya akan menjadikan batu sandungan. Alih-alih mampu menghentikan, bukan tidak mungkin justru menjadi bumerang.

12 April 2006

Placenta-previa: Plasenta bisa pindah?

Placenta kok bisa jalan-jalan ya Bu ? Aneh bener hehehe ... Ini topik menarik sejak saya kuliah dulu.

Secara sederhana, rahim berbentuk segitiga terbalik, atau bisa juga dibayangkan seperti daun waru (clover) terbalik dengan tangkai di bawah. Bagian "tangkai" ini berbentuk seperti tabung atau corong (dikenal sebagai leher rahim) dengan ujung terbuka (dikenal sebagai mulut rahim).

Normalnya plasenta terletak di bagian fundus (bagian puncak/atas rahim), bisa agak ke kiri atau ke kanan sedikit, tetapi tidak sampai meluas ke bagian bawah apalagi menutupi jalan lahir.

Patokan jalan lahir ini adalah ostium uteri internum (disingkat OUI, yaitu mulut rahim bila dilihat dari bagian dalam rahim). Kalau dilihat dari luar - dari arah vagina - disebut ostium uteri eksterum.

Placenta-previa artinya "plasenta di depan" (previa=depan). Artinya, plasenta berada lebih "depan" daripada janin yang hendak keluar. Angka kejadiannya sekitar 3-6 dari 1000 kehamilan.

Terhadap jalan lahir ada 4 kemungkinan jenis plasenta previa :

1. Placenta previa totalis, bila plasenta menutupi seluruh jalan lahir. Pada posisi ini, jelas tidak mungkin bayi dilahirkan per-vaginam (normal/spontan/biasa), karena risiko perdarahan sangat hebat.

2. Placenta previa partialis, bila hanya sebagian/separuh plasenta yang menutupi jalan lahir. Pada posisi inipun risiko perdarahan masih besar, dan biasanya tetap tidak dilahirkan melalui per-vaginam.

3. Placenta previa marginalis, bila hanya bagian tepi plasenta yang menutupi jalan lahir. Bisa dilahirkan per-vaginam tetapi risiko perdarahan tetap besar.

4. Low-lying placenta (plasenta letak rendah, lateralis placenta atau kadang disebut juga dangerous placenta), posisi plasenta beberapa mm atau cm dari tepi jalan lahir. Risiko perdarahan tetap ada, namun bisa dibilang kecil, dan bisa dilahirkan per-vaginam dengan aman, asal hat-hati.

(kadang dokter memperkirakan risiko perdarahan sehingga dibutuhkan persiapan darah transfusi pada persalinan. Silakan baca ulang tentang mendapatkan persiapan darah transfusi ini di topik "mengapa darah transfusi terlambat").

Diagnosa ini mulai dipastikan sejak kira-kira umur kehamilan 26-28 minggu, dimana mulai terbentuk SBR (Segmen Bawah Rahim). Dengan terbentuknya SBR, leher rahim yang semula masih berbentuk seperti corong (lihat gambar di pojok kanan atas), akan mulai memipih, untuk nantinya saat menjelang persalinan mulai membuka (sudah biasa mendengar "pembukaannya sudah berapa cm" begitu kan?)

Dari perubahan inilah bisa terjadi plasenta "berpindah" atau lebih tepatnya bergeser secara relatif menjauhi jalan lahir, seolah-olah bergerak ke atas. Itulah sebabnya, sebelum masuk trimester terakhir, sekitar 28 minggu/7 bulan, dibiarkan saja dulu asal tidak terjadi perdarahan yang tidak bisa dikendalikan. Diharapkan nanti setelah 7 bulan, beruntung bisa "pindah" ke atas seperti penjelasan sebelumnya.

Tentu saja, penilaian paling optimal dan menentukan adalah saat mendekati persalinan, untuk memastikan benar-benar dimana posisi plasenta. Itulah mengapa, keputusan cara persalinan bisa berubah di menit-menit terakhir.

Begitu pula, jangan lantas menyebut bahwa diagnosa placenta-previa pada usia kehamilan muda dianggap "positif palsu". Setelah membaca tulisan ini, sudah tahu bukan mengapa demikian?

Apa sih sebabnya terjadi kelainan tempat plasenta ? Bisa karena kelainan bawaaan pada bentuk rahim, adanya tumor rahim, atau bekas operasi sebelumnya yang meninggalkan jaringan parut di rahim. Bisa sebabnya faktor rahim : kehamilan ganda/kembar, ada kelainan bawaan rahim. Tidak ada hubungannya dengan saat hamil naik turun tangga atau banyak jungkir balik misalnya.

Tindakan ditentukan oleh jenis plasenta previanya. Biasanya ditunggu sampai sekitar 7 bulan untuk memastikan benar dimana posisi plasenta. Karena itu, walau Ibu hamil tidak "nungging", kalau dasarnya memang bukan tipe previa ya tetap akan "bergeser" ke atas.

Risiko dari kelainan posisi ini, paling utama tentu perdarahan. Perdarahan bisa terjadi menjelang/saat persalinan. Ini dihindari/diantisipasi dengan penentuan cara persalinan operatif.

Bisa terjadi perdarahan saat mulai terjadi pembentukan segmen bawah rahim, dimana ada bagian plasenta yang "robek" oleh pergeseran jaringan di sekitar mulut rahim. Bila ini terjadi, yang terganggu adalah kesejahteraan janin, dan bisa juga memicu persalinan prematurus.

Bisa juga terjadi perdarahan oleh tekanan kepala janin saat mulai memasuki segmen bawah rahim sebagai persiapan menuju persalinan.

Apa yang menjadi faktor risiko plasenta-previa?

1. Wanita lebih dari 35 tahun, 3 kali lebih berisiko.
2. Multiparitas, apalagi bila jaraknya singkat. Secara teori plasenta yang baru berusaha mencari tempat selain bekas plasenta sebelumnya.
3. Kehamilan kembar.
4. Adanya gangguan anatomis/tumor pada rahim sehingga mempersempit permukaan bagi penempelan plasenta.
5. Adanya jaringan parut pada rahim oleh operasi sebelumnya. Dilaporkan, tanpa jaringan parut berisiko 0,26%. Setelah bedah sesar, bertambah berturut-turut menjadi 0,65% setelah 1 kali, 1,8% setelah 2 kali, 3% setelah 3 kali dan 10% setelah 4 kali atau lebih.
6. Adanya endometriosis (adanya jaringan rahim pada tempat yang bukan seharusnya, misalnya di indung telur) setelah kehamilan sebelumnya.
7. Riwayat plasenta previa sebelumnya, berisiko 12 kali lebih besar.
8. Adanya trauma selama kehamilan.
9. Kebiasaan tidak sehat seperti merokok dan minum alkohol.

Selain placenta previa, ada juga perdarahan akibat solusio plancentae. Terjadi bila penempelan plasenta di tempat yang normal tetapi terlepas dari dinding rahim. Penyebab terlepas bisa karena perubahan anatomis/tumor pada rahim, karena tali plasenta pendek sehingga tertarik oleh gerakan janin, atau karena daya dukung plasenta memang sudah sangat berkurang, sehingga rapuh.

Akibatnya terjadi perdarahan. Secara mudah, pada placenta previa perdarahan tidak diikuti nyeri perut. Tetapi pada solusio plasenta, perdarahan diikuti nyeri perut yang hebat.

Karena itu, posisi plasenta adalah salah satu hal yang penting diperiksa saat menjalani USG. Ini lebih penting daripada soal apa jenis kelaminnya (bukan berarti nggak boleh lho ya nanya jenis kelamin, hanya rasional dong, mana yang lebih penting seharusnya didahulukan).

Salam hangat untuk janin Anda ...

Circumsisi, phimosis dan khitan perempuan

(ditulis oleh dokter umum, ditujukan untuk masyarakat umum, disusun dari pengalaman dan bacaan, sambil menunggu koreksi dari sejawat dokter bedah).

Sering muncul pertanyaan tentang khitan/sunat/sirkumsisi (circumsisi) di milis kesehatan. Banyak kebingungan ketika ada keinginan/keharusan menjalani sirkumsisi pada usia dini.


Sirkumsisi memiliki riwayat panjang, bahkan sebelum masehi sudah ditemukan catatan prakteknya di Mesir. Praktek ini berlangsung terus sampai sekarang, namun menjadi topik kontroversi hangat sejak sekitar 20-an tahun lalu. Apakah benar sirkumsisi bermanfaat atau justru tidak ada gunanya?

Sirkumsisi adalah tindakan medis berupa pembuangan sebagian atau seluruh bagian dari preputium (prepuce, foreskin, kulup, kulit yang melingkupi glans penis/kepala penis). Ada 3 alasan utama orang menjalani sirkumsisi :

1. Karena indikasi medis
2. Tindakan pencegahan untuk masa depan
3. Alasan agama/keyakinan

Indikasi medis yang paling sering ditemui adalah kondisi phimosis. Preputium sebenarnya terdiri dari dua lapis: bagian dalam dan bagian luar. Dengan dua lapis ini, maka preputium bisa ditarik ke depan dan belakang pada batang penis.

Pada penis anak yang mengalami phimosis, preputium tidak bisa ditarik ke belakang untuk membuka seluruh bagian kepala penis. Lapis bagian dalam preputium melekat pada glans penis, sehingga ketika preputium ditarik, glans penis tidak bisa terbuka seluruhnya. Kadang perlekatan itu begitu lebar sehingga hanya bagian lubang kencing (meatus urethra externus) yang terbuka. Selama tidak terjadi hambatan berkemih atau tanda-tanda peradangan, masih bisa diobservasi. Harapannya, secara perlahan perlekatan akan menghilang sesuai usia.


Perlu diketahui, saat lahir hanya 4% bayi yang preputiumnya sudah bisa ditarik mundur sepenuhnya sehingga kepala penis terlihat utuh. Selanjutnya secara perlahan terjadi desquamasi sehingga perlekatan itu berkurang. Sampai usia 1 tahun, masih 50% yang belum bisa ditarik penuh. Berturut-turut 30% pada usia 2 tahun, 10% pada usia 4-5 tahun, 5% pada usia 10 tahun, dan masih ada 1% yang bertahan hingga 16-17 tahun. Dari kelompok terakhir ini, ada sebagian kecil yang bertahan secara persisten sampai dewasa bila tidak ditangani.

Phimosis bisa terjadi secara bawaan sejak lahir, bisa juga terjadi kemudian. Penyebab yang sering adalah infeksi pada daerah glans penis dan preputium (balanitis) yang meninggalkan jaringan parut. Selanjutnya preputium melekat ke glans penis pada jaringan parut tersebut.

Kondisi yang berlawanan adalah paraphimosis. Pada kondisi ini, preputium dapat ditarik ke belakang, glans penis terbuka seluruhnya, tetapi justru preputium tidak bisa kembali ke depan dan menjepit penis. Kondisi ini berbahaya karena risiko pembendungan aliran darah dan menyebabkan edema penis. Jepitan sebaiknya segera dibebaskan agar tidak terjadi kerusakan yang bersifat permanen.

Pada lapisan dalam preputium terdapat kelenjar sebacea yang memproduksi smegma. Cairan ini berguna untuk melumasi permukaan preputium. Letak kelenjar ini di dekat pertemuan preputium dan glans penis yang membentuk semacam "lembah" di bawah korona glans penis (bagian kepala penis yang berdiameter paling lebar). Ke dalam lembah ini terkumpul keringat, debris/kotoran, sel mati dan bakteri. Bila tidak terjadi phimosis, kotoran ini mudah dibersihkan.

Pada kondisi phimosis, pembersihan tersebut sulit dilakukan karena preputium tidak bisa ditarik penuh ke belakang. Bila yang terjadi adalah perlekatan preputium dengan gland penis, debris dan sel mati terkumpul di lembah dan tidak bisa dibersihkan.

Bisa juga terjadi lubang di ujung preputium sempit sehingga tidak bisa ditarik mundur dan glans penis sama sekali tidak bisa dilihat. Kadang hanya tersisa lubang kecil di ujung preputium. Pada kondisi ini, akan terjadi fenomena "balloning" yaitu preputium mengembang saat berkemih karena desakan pancaran urine tidak diimbangi besarnya lubang di ujung preputium.

Kadang terjadi peradangan pada preputium sampai tidak bisa berkemih. Dokter bisa melakukan tindakan dilatasi (melebarkan lubang preputium) agar proses berkemih lancar. Setelah peradangan mereda, rasa nyeri berkemih membaik, lebih baik dilakukan sirkumsisi agar peradangan dan kesulitan berkemih tidak terulang lagi.


Bila phimosis menghambat kelancaran berkemih - seperti pada balloning - maka sisa-sisa urin mudah terjebak pada bagian dalam preputium dan lembah tersebut. Kandungan glukosa pada urine menjadi ladang subur bagi pertumbuhan bakteri. Karena itu, komplikasi yang paling sering dialami akibat phimosis adalah infeksi saluran kemih (UTI).

UTI paling sering menjadi indikasi sirkumsisi pada kasus phimosis. Ada pula kondisi lain akibat infeksi yaitu balanopostitis. Pada infeksi ini terjadi peradangan pada permukaan preputium dan glans penis. Terjadi pembengkakan kemerahan dan produksi pus pada "lembah" antara glans penis dan preputium. Meski jarang, infeksi ini bisa terjadi pada diabetes.

Kadang tepi preputium menjadi putih, terbentuk jaringan parut, tidak elastis dan tidak mau membuka saat ditarik ke belakang. Sekitar 1-1.5% anak laki-laki sampai pada usia 17 tahun bisa menderitanya. Gejala yang timbul: iritasi atau perdarahan di tepi preputium, rasa nyeri saat berkemih (disuria) dan tidak bisa berkemih (retensi urine). Kondisi ini disebut balanitis xerotica olbiterans. Sirkumsisi dianjurkan pada kondisi ini.

Berkaitan dengan pencegahan masa depan, ada beberapa penyakit yang diduga berkurang risikonya dengan menjalani sirkumsisi. Yang sering disebut adalah kanker penis, penyakit menular seksual dan kanker serviks (pada pasangan seksualnya). Tentu saja, banyak faktor terkait dalam hal terjadinya keganasan atau PMS, sehingga terjadi kontroversi pendapat (di luar lingkup tulisan ini).

Benarkah sirkumsisi mempengaruhi kejadian UTI? Tahun 1980-an dilaporkan bahwa anak yang tidak disirkumsisi memiliki risiko menderita UTI 10-20 kali lebih tinggi. Tahun 1993, ditulis review bahwa risiko terjadi sebesar 12 kali lipat. Tahun 1999, dalam salah satu bagian dari pernyataan AAP tentang sirkumsisi, disebutkan bahwa dari 1000 anak pada usia 1 tahun, 7-14 anak yang tidak disirkumsisi menderita UTI sedang hanya 1-2 anak pada kelompok yang disirkumsisi. Dua laporan jurnal tahun 2001 dan 2005 mendukung bahwa sirkumsisi menurunkan risiko UTI.

Apa yang harus dipersiapkan sebelum menjalani sirkumsisi? Sebelum menentukan tindakan operasi, perlu pemeriksaan awal. Di luar soal kesiapan secara fisik, dipastikan pula adakah kelainan anatomis penis, bagaimana kondisi preputium (adakah phimosis, seberapa perlekatan preputium dengan glans penis, adakah peradangan). Pada tahap ini, dokter akan bisa membuat penilaian, apakah akan dihadapi penyulit. Bisa terjadi, bila penyulit cukup berat, terpaksa menggunakan anesthesi umum agar bisa optimal.

Bapak-bapak model "dulu" biasa menunggu sampai preputium anaknya benar-benar sudah bisa ditarik ke belakang dan glans penis terlihat utuh, sebelum memutuskan hendak sirkumsisi. Mereka sering mengajarkan kepada anaknya untuk selalu mencoba menarik preputium saat mandi, sekaligus membersihkan kotoran yang mengendap di balik preputium. Seperti disebut sebelumnya, memang secara alamiah pun, perlekatan itu akan menghilang sesuai pertambahan usia. Baru setelah ditunggu-tunggu ternyata memang tidak tercapai, mereka konsultasi ke dokter.

Kadang, adanya perlekatan - terutama bila tinggal sedikit - bisa dilepaskan sekaligus sebelum dilakukan sirkumsisi. Bila perlekatan ternyata cukup lebar, atau relatif sulit dilepaskan, kadang dokter terpaksa melakukannya dua tahap: dilepaskan dulu perlekatannya, diberi jeda agar "peradangan ringan"nya membaik, baru tahap kedua dilakukan sirkumsisi. Memang ini menambah trauma pada anak karena terpaksa 2 kali menjalani "tindakan" oleh dokter. Karena itu sebisa mungkin pelepasan perlekatan dan sirkumsisi dilakukan satu tahap.

Apakah sirkumsisi harus dengan general anesthesi (anesthesi umum)? Pada prinsipnya, sirkumsisi adalah tindakan minor surgery dengan anesthesi lokal, termasuk pada neonatal (Cochrane Database 2004). Ada dua model anesthesi lokal yang sering digunakan. Pertama dengan suntikan baik pada pangkal penis (DPNB) maupun preputium (ring-block). Kedua, menggunakan anesthesia topikal, biasanya berupa spray. Dalam literatur, metode
suntikan lebih efektif, tetapi dalam praktek tergantung pada teknik sirkumsisi yang dipakai dan keterampilan dokternya. Rata-rata waktu yang diperlukan hanya sekitar 10-15 menit, selama tidak ada penyulit.

Meski bersifat minor surgery, di lapangan sering ditemui kendala karena pasien tidak kooperatif. Bisa juga orang tua pasien yang merasa tidak tega. Padahal diperlukan kerjasama antara orang tua atau keluarga dengan dokter agar sirkumsisi berlangsung optimal. Ada kalanya terpaksa dilakukan dengan anesthesi umum agar kerja dokter lebih optimal.

Bila harus menggunakan anesthesi umum, tentu perlu persiapan seperti operasi lain yang menggunakan anesthesi umum. Misalnya harus puasa 4-6 jam sebelumnya untuk menghindari aspirasi isi lambung saat dalam kondisi teranesthesi. (Aspirasi: masuknya isi dari lambung ke saluran nafas).

Namun teknik anesthesinya tidak seperti kita lihat di film seperti serial ER misalnya. Tekniknya lebih sederhana, dan efeknya singkat sesuai kebutuhan. Juga tidak sampai dilakukan pemasangan intubasi (selang khusus ke tenggorokan). Prinsipnya anak bisa tidur tenang, rasa sakit dihilangkan, proses sirkumsisi berjalan lancar, dan segera setelah selesai, anak sadar. Biasanya segera setelah sadar, anak merasa haus. Pastikan ke dokter bahwa peristaltis saluran cerna sudah pulih sehingga anak sudah bisa minum.

Berbagai laporan menyebut angka komplikasi akibat tindakan sirkumsisi sebesar 0,2 - 0,6%. Hampir semua komplikasi bersifat ringan. Yang paling sering terjadi adalah perdarahan, kemungkinannya sekitar 0,1%, dan hampir semuanya bisa diatasi dengan tindakan lokal.

Yang perlu perhatian, sampaikan sebelumnya bila ada tanda-tanda anak mengalami gangguan pembekuan darah. Misalnya perdarahan bila terluka tidak cepat berhenti, sering mimisan (epistaksis), bila sikat gigi mudah berdarah, bila bagian badan terbentur mudah terjadi lebam yang tidak cepat hilang atau sering timbul bintik-bintik perdarahan di bawah kulit. Dokter akan memberi perhatian tersendiri bila ada riwayat demikian.

Karena bersifat minor, dengan prosedur yang steril luka paska operasi biasanya sembuh dengan cepat dan baik. Bila tanpa indikasi khusus, tidak diperlukan antibiotika, hanya analgetik sesuai kebutuhan bila timbul nyeri saja. Luka lebih baik segera dibiarkan terbuka, asal terjaga kebersihan dan gesekan dengan celana/kain popok (gunakan yang longgar). Rembesan urine yang biasanya menimbulkan nyeri dan risiko kontaminasi. Karena itu segera bersihkan dengan air hangat atau cairan antiseptik setiap kali selesai berkemih.

Memang kondisi lokal bisa berbeda, seperti laporan tahun 1999 di
Punjab India, antibiotika topikal (salep) efektif mencegah terjadinya infeksi pada luka paska sirkumsisi terutama terhadap risiko tetanus. Namun hal seperti ini perlu penilaian kasus per kasus, tidak diberlakukan secara umum.

Beberapa hal yang diperhatikan paska sirkumsisi:
1. Perdarahan seharusnya segera berhenti. Bila perdarahan masih terus berlangsung, pastikan ke dokter bahwa hanya proses alamiah dari pembekuan (pembentukan trombin-net) darah. Kadang keluar cairan tapi relatif bening, bukan lagi merah.
2. Bila terjadi pembengkakan berlebihan. Kadang terbentuk cairan jaringan di bekas luka, namun secara alamiah ini akan diserap tubuh. Bila terjadi bendungan cairan besar, konsultasikan ke dokter.
3. Bila anak mengeluh nyeri sangat yang tidak bisa diatasi dengan pemberian analgetik, konsultasikan ke dokter. Mungkin terjadi masih ada pembuluh darah yang belum terligasi dengan sempurna, sehingga terjadi perdarahan di dalam dan menimbulkan nyeri.

Tentu saja risiko perdarahan maupun pembengkakan terkait erat dengan teknik sirkumsisi yang benar. Dengan teknik sirkumsisi dan perawatan luka yang benar, risiko tersebut minimal. Biasanya dokter memberi anjuran kontrol 24-48 jam setelah sirkumsisi untuk mengecek kemungkinan-kemungkinan tersebut. Setelah itu biasanya tidak diperlukan kontrol lagi, sampai lukanya sembuh sekitar 1 minggu kemudian.

Teknik dasar sirkumsisi menggunakan alat bedah konvensional. Pada perkembangannya digunakan cauter (pisau listrik) maupun laser. Penggunaan alat ini lebih meminimalkan perdarahan dan mempermudah proses sirkumsisi. Ada juga perkembangan teknik tidak menggunakan jahitan tetapi semacam lem jaringan (glue). Ada juga yang menggunakan alat dari plastik.

Namun perkembangan tersebut juga menuntut tingkat keterampilan tersendiri dari dokter yang melakukannya. Karena itu sering terjadi salah sebut, cauterisasi dianggap sebagai laser. Baru sedikit yang benar-benar menggunakan laser di Indonesia, seperti beberapa laser-center di kota-kota besar. Ada pendidikan khusus mengenai penggunaan laser ini, karena penggunaan yang tidak tepat juga berisiko kematian jaringan.

Umur saat menjalani sirkumsisi, sebenarnya tidak ada aturan pasti. Sekarang bahkan banyak dilakukan sirkumsisi pada neonatal usia 1-2 hari. Alasannya, lebih dini lebih baik untuk mencegah UTI pada usia dini. Sekaligus, pada usia tersebut pasien juga lebih kooperatif.

Dulu ada anggapan bahwa bayi baru lahir belum bisa "merasakan" nyeri. Tetapi ini jelas tidak benar. Memang mereka belum bisa menyatakan "rasa" nyeri itu. Untuk mengukur tingkat "nyeri" pada kelompok pasien ini, beberapa penelitian menggunakan parameter tangis, menahan nafas, nampak kebiruan pada sekitar bibir, gelisah atau muntah. Selain penggunaan anesthesi lokal, ada yang memberikan sukrosa dalam pacifier (kempong) untuk mengurangi nyeri pada bayi yang menjalani sirkumsisi.

Ada kritik bahwa sirkumsisi menurunkan kepuasan seksual karena pada preputium yang dipotong tersebut terdapat syaraf-syaraf yang sangat peka. Tetapi laporan Jurnal of Urology April 2005 melaporkan tidak ada perbedaan kepekaan neurologis antara penis yang disirkumsisi dan tanpa sirkumsisi.

Bila terjadi kontroversi seputar sirkumsisi, nampaknya semua mudah sepakat tentang sunat pada perempuan. Pada beberapa komunitas, dilakukan praktek sunat perempuan yang diserupakan dengan sirkumsisi pada laki-laki. Karena klitoris merupakan "kembaran" penis, maka kulit di sekitar klitoris juga harus dibuang, seperti membuang preputium. Bahkan ada yang sampai memotong klitorisnya itu sendiri.

Tindakan ini tidak dikenal sama sekali dalam dunia medis. Pemotongan atau pengirisan kulit sekitar klitoris apalagi klitorisnya sangat merugikan. Tidak ada indikasi medis untuk mendasarinya. Seorang bidan di Jawa Barat pernah mengulas tentang hal ini karena menemukan bekas-bekasnya pada pasiennya. Kenyataannya memang ada kelompok yang meyakini bahwa anak perempuan pun diwajibkan menjalani khitan.

Ada kritik bahwa tindakan sirkumsisi berarti orang tua telah mengambil hak anaknya dalam memutuskan tindakan terhadap tubuhnya. Namun dalam hal ini, pertimbangan keagamaan dan budaya diakui dalam mengambil keputusan. Karena itu, tugas petugas medis adalah memberikan informasi apa adanya, agar orang tua dapat memutuskan sendiri pilihan bagi anaknya. Namun dalam hal khitan pada perempuan, dokter harus menjelaskan bahwa literatur medis tidak mengenalnya.


Berikut beberapa pendapat saya.

Bila bukan karena indikasi medis, usia yang "nyaman" untuk tindakan sirkumsisi adalah sekitar usia 5 tahun. Mengapa? Tindakan sirkumsisi mencakup banyak unsur: kesehatan, keyakinan (agama) maupun psikologi perkembangan (berkait dengan gender misalnya). Secara kesehatan, adanya phimosis secara alamiah akan membaik sesuai umur (tinggal 10% pada usia 5 tahun). Juga kesadaran akan higiene pribadi sudah mulai bisa diajarkan secara mandiri pada usia tersebut. Kebiasaan membersihkan penis saat mandi, adalah kebiasaan positif yang bisa dan seharusnya diajarkan agar menjadi kebiasan mandiri. Bahkan setelah sirkumsisi pun kebiasaan ini harus tetap diteruskan.

Secara agama, usia tersebut menjelang mulai perlu dipenuhinya kewajiban-kewajiban rukun agama. Tanggung jawab pribadi terhadap pengamalan agama, mulai ditanamkan. Secara psikologis, usia tersebut juga mulai mengenal jati diri atas dasar perbedaan gender. Tetapi sekaligus pula mulai ditanamkan kesadaran dan penghargaan atas gender. Secara perkembangan, usia 5 tahun adalah saat-saat menjelang masuk sekolah SD.

Tentang khitan pada anak perempuan, selama di klinik Ibu Anak saya sering menerima pasien dengan kasus ini. Yang saya lakukan adalah menjelaskan kepada orang tuanya agar tidak salah pengertian bahwa khitan perempuan tidak seperti sirkumsisi pada laki-laki. Juga tidak dikenal dalam literatur medis. Setelah mereka paham, silakan bila memang tetap ingin melakukan atas dasar keyakinan.

Yang saya lakukan kemudian hanyalah melakukan pembersihan di daerah sekitar labia mayora dan minora vagina, yang sering terdapat kotoran. Dengan cairan antiseptik secukupnya saja, setelah pembersihan orang tua sudah puas. Apalagi bila memang kebetulan kotorannya banyak, bahkan ada yang sudah mengeras seperti butiran hitam. Saya melakukan kompromi demi tujuan lebih baik, agar tidak ada beban moral pada mereka, tetapi juga tidak ada risiko bagi bayinya.


Semoga bermanfaat.

10 April 2006

Pertolongan pertama pada Stroke?

Sejak sekitar 3 tahunan lalu muncul email di milis-milis tentang "pertolongan pertama pada stroke" yang berisi secara inti sebagai berikut :

Sebagaimana diketahui, orang yang mendapat serangan stroke, seluruh darah di tubuh akan mengalir sangat kencang menuju pembuluh darah di otak. Apabila pertolongan awal sedikit terlambat, maka pembuluh darah di otak tidak akan kuat menahan aliran darah yang mengalir dengan deras, dan pembuluh darah akan segera pecah sedikit demi sedikit.

Untuk menghadapi keadaan demikian, jangan panik dan tetap tenang. Si penderita harus tetap berada di tempat semula di mana dia terjatuh (mis: kamar mandi, kamar tidur atau di mana saja). Jangan dipindahkan! Sebab dengan memindahkan si penderita dari tempat semula, akan mempercepat pecahnya pembuluh darah halus di otak.

Penderita harus dibantu dengan mengambil posisi duduk yang baik agar tidak terjatuh lagi, dan pada saat itu pertolongan pertama dapat dilakukan.

Pertolongannya yaitu: siapkan jarum (suntik, jahit, pentul, peniti) dan sterilkan dahulu dengan cara dibakar di atas api. Setelah itu lakukan penusukan pada 10 ujung jari tangan. Titik penusukan kira-kira 1 cm dari ujung kuku. Setiap jari cukup ditusuk 1 X saja dengan harapan setiap jari mengeluarkan 1 tetes darah (bila darah tidak keluar bisa dibantu dengan cara dipencet sampai darah keluar). Dalam jangka waktu kira-kira 10 menit penderita akan segera sadar kembali.

Bila mulut penderita tampak miring/tidak normal, maka kedua daun telinga si penderita harus ditarik-tarik sampai berwarna kemerah-merahan. Setelah itu lakukan 2 X penusukan pada masing-masing daun telinga sehingga darah keluar sebanyak 2 tetes dari setiap daun telinga. Dengan demikian dalam beberapa menit kemudian bentuk mulut si penderita akan normal kembali.

Setelah keadaan penderita pulih dan tidak ada kelainan yang berarti, bawalah si penderita dengan hati-hati ke dokter/rumah sakit terdekat untuk mendapat pertolongan lebih lanjut.


Secara sederhana ada 2 tipe stroke. Pertama tipe hemorrhagic (perdarahan) bila terjadi pecah dari pembuluh darah di otak. Kedua tipe iskhemik bila terjadi sumbatan aliran darah ke suatu bagian otak. Pembedaan yang mudah, tipe hemorrhagic sering terjadi saat kita beraktivitas (makan, memimpin rapat, berpidato, mengetik, berjalan, mandi dan sejenisnya). Sedang tipe iskhemik biasa terjadi saat istirahat/santai seperti tidur atau saat bangun tidur hendak bangkit, menonton TV, duduk di teras.

Yang pecah atau tersumbat bisa pembuluh darah besar, bisa kecil. Efeknya terjadi gangguan fungsi syaraf seperti : kerutan dahi mengilang, kelopak mata menutup, pipi kendor, bibir/mulut mencong, tangan/kaki lemas, hilang rasa sebelah badan, gangguan bicara, dan gangguan penglihatan.

Berat ringannya efek, tergantung pada daerah yang mengalami perdarahan atau sumbatan serta cepatnya pemulihan daerah tersebut. Pasien bisa tidak sadar, bisa fatal dalam waktu singkat, bisa juga bertahan relatif lama kemudian meninggal, bisa membutuhkan sementara waktu untuk kembali pulih, tetapi bisa juga hanya keluhan ringan/sementara yang segera membaik.


Secara alamiah, tubuh berusaha melakukan reaksi terhadap perdarahan atau sumbatan tersebut. Ruang tengkorak yang relatif tetap, menyebabkan desakan yang menghambat perdarahan berlanjut. Begitu juga sumbatan ke suatu daerah otak, berusaha diatasi dengan mengalirkan darah melalui pembuluh darah kolateral (pembuluh darah pintas). Karena itu, bisa saja terjadi setelah serangan stroke pasien tidak sadar, tetapi beberapa menit kemudian sadar kembali.

Apa yang dijelaskan oleh kutipan email tersebut, mengisyaratkan gambaran penanganan berdasarkan prinsip perdarahan di otak. Analoginya seperti ada kran air yang bocor di lantai atas, dicoba diatasi dengan membuka banyak kran air di lantai bawah. Tentu memang terasa bahwa kebocoran akan berkurang.

Masalahnya, bagaimana kalau kebocoran ini pada lantai 100 hotel bertingkat? Apakah membuka kran di lantai 1 juga berpengaruh signfikan? Bagaimana kalau diberlakukan pada sistem pipa air satu kota? Padahal sistem pembuluh darah di otak dan tubuh manusia jauh lebih rumit daripada sistem pipa air satu kota.

Karena itu, dalam pandangan saya, email tersebut tidak benar. Dalam menghadapi keluarga yang mengalami stroke, berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan :

1. Jangan panik (prinsip utama)

2. Pindahkan pasien secara hati-hati, tempatkan pasien di tempat yang aman dan nyaman (di tempat tidur). Sebisa mungkin pasien dibawa bersama-sama 3 orang, agar tubuh tetap sejajar, kepala sedikit ditinggikan.
3. Longgarkan baju, lepaskan sabuk, dasi atau lain-lain yang mengikbat tubuh. Pastikan pasien bisa bernapas dengan baik.
4. Tidurkan pasien dalam posisi terlentang, tinggikan kepala pasien kira-kira 20 derajat - 30 derajat.

5. Miringkan kepala pasien ke kiri atau ke kanan supaya kalau muntah tidak masuk ke paru-paru. Bersihkan kalau ada sisa-sisa makanan di mulut (mungkin serangan saat makan).

6. Kalau pasien kejang-kejang, jangan berusaha menghentikan kejang, hanya dijaga jangan sampai jatuh dari tempat tidur. Jangan masukan barang ke mulut pasien, misalnya sendok. Ada alat tersendiri bila tujuannya menjaga antar gigi, yang intinya harus kenyal, tidak padat/tajam serta tidak berisiko tertelan.

7. Jangan memberi makanan/minuman kepada pasien karena banyak pasien stroke tidak bisa menelan, jadi bisa masuk ke paru-paru.

8. Cepat bawa ke rumah sakit dalam waktu kurang dari 6 jam, supaya perbaikan sel-sel otak yang rusak bisa semaksimal mungkin. Fase akut stroke pertama dalam 6 jam. Kemudian berjalan sampai sekitar 6 hari (1 minggu). Tetapi keseluruhan fase akut yang berisiko sampai 21 hari.

9. Saat membawa ke RS, lebih baik dalam posisi berbaring dengan kepala sedikit ditinggikan. Bila pasien masih sadar, bisa dalam posisi setengah duduk.


Pada stroke ischemic sekarang ada terapi menggunakan tissue-plasminogen activator (tPA). Terapi ini terbukti efektif untuk sesegera mungkin membuka sumbatan. Namun karena efektif, harus dilakukan di RS oleh dokter karena adanya kelebihan juga berefek negatif bagi sistem pembekuan darah tubuh. Sayang, harganya masih relatif mahal.

Disclaimer : bahasan ini menggunakan dasar ilmu kedokteran. Apabila ada yang menilai bahwa saran terapi dalam email tersebut benar menurut ilmu-ilmu lain, saya tidak pada posisi apa-apa. Saya tidak ingin membahas dengan ilmu lain, karena sadar tidak menguasai ilmu lain tersebut. Silakan, diambil mana yang diyakini.

09 April 2006

Kapan operasi amandel?

"Kapan operasi amandel" sering menjadi pertanyaan. Amandel (tonsil) sebenarnya adalah bagian dari sistem pertahanan tubuh. Karena posisinya, banyak benda asing yang melaluinya dan bisa menimbulkan infekis. Tonsil berperan seperti "penjaga pintu" yang akan menahan setiap serangan. Karena itu tonsil akan membesar sebagai reaksi pertahanan bila ada infeksi.

Dengan demikian, pada dasarnya pembesaran tonsil adalah reaksi positif. Pada anak yang sehat pun, tonsil bisa membesar. Puncak pembesaran ada usia 9-10 tahun, kemudian perlahan akan menyusut. Karena itu, sebisa mungkin tindakan operasi pengangkatan tonsil dihindari. Lebih baik mencari apa yang sering membuat tonsil membesar.

Tapi memang tonsil bisa membesar dan melekat dengan jaringan sekitarnya, permukaannya menjadi keriput tidak rata, kripte (kerut-kerut di permukaan) tampak melebar, dan dipenuhi dengan detritus (bercak kotoran putih-putih seperti butiran beras). Pada kondisi demikian, infeksi pada tonsil harus diperhatikan dengan serius karena dapat berfungsi sebagai sarang penyebar infeksi berat. Penjalarannya bisa menimbulkan antara lain demam rheumatik yang dapat mengenai persendian dan jantung, nefritis (infeksi pada ginjal), infeksi pada mata atau radang pada selaput otak.

Pembesaran tonsil diukur menurut derajatnya terhadap uvula (jaringan kecil di bagian atas pintu masuk dari mulut ke faring). Semakin besar, akan makin mendekati uvula. Ada yang membagi menjadi 4 skala, ada yang membagi 3 skala.

Untuk menentukan tindakan operasi (tonsillectomy), ada 2 kelompok kriteria. Kriteria yang bersifat absolut (segera dilakukan):
  1. Bila pembesaran sudah menimbulkan obstruksi/hambatan jalan nafas berat, gangguan menelan berat, menimbulkan gangguan tidur (sleep apnea), atau ada komplikasi kardiopulmoner (akibat penyebaran infeksi oleh bakteri streptococcus)
  2. Adanya peritonsiler abses yang tidak bisa diatasi dengan medikamentosa (dengan obat) dan drainage (pengambilan cairan isi absess).
  3. Tonsilitis yang sampai menimbulkan kejang demam, atau carrier difteri (sekarang sudah jarang).
  4. Kondisi tonsil sedemikian rupa yang sampai memerlukan tindakan biopsi untuk penentuan kondisi jaringan menggunakan pemeriksaan patologi.
Sedang kriteria yang bersifat relatif (dipertimbangkan):
  1. Frekuensi serangan infeksi tonsil : 7 kali/tahun; 5 kali/tahun selama 2 tahun; 3 kali/tahun selama 3 tahun.
  2. Adanya bau mulut atau nafas yang terus menerus akibat tonsilitis kronis yang tidak membaik dengan terapi obat
  3. Tonsilitis kronis atau berulang oleh bakteri streptokokus yang sudah resisten terhadap antibiotika beta-laktamase
  4. Adanya pembesaran tonsil satu sisi (unilateral) dengan kecurigaan sifat neoplastik (tumor/keganasan)

Dari dua kelompok tersebut, ada yang bersifat obyektif oleh dokter/pemeriksaan medis (menentukan sifat infeksi tonsil, menilai kondisi jaringan tonsil dari kripte, debris, dll), tapi ada juga yang bersifat subyektif (gangguan pernafasan, gangguan menelan, gangguan tidur). Yang subyektif ini dirasakan sendiri oleh pasiennya, dalam hal ini dinilai oleh orang tuanya.

Ada juga pertimbangan bahwa fungsi tonsil adalah bagian dari sistem pertahanan tubuh. Bagaimana kalau dioperasi? Suatu penelitian tahun 2003 di International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology membandingkan kelompok dengan tonsilektomi dan tanpa tonsilektomi pada masa anak-anaknya, sampai 20 tahun paska operasi. Hasilnya tidak ada perbedaan signifikan. Tapi memang ini baru 20 tahun, tentu kalau mungkin diteruskan sampai jangka lebih panjang.

Suatu penelitian lain di jurnal yang sama menyebutkan perbedaan profil imunitas pada anak-anak usia 3-15 tahun, antara yang menjalani tonsilektomi dan tidak. Perbedaan didapatkan pada masa 6 bulan pertama paska operasi. Setelah 6 bulan, profil imunitasnya menjadi tidak berbeda.

Ada amandel yang mengecil sendiri setelah bertambah umur?

Suatu penelitian lain, masih di jurnal yang sama, sekelompok anak didiagnosa untuk menjalani tonsilektomi, tetapi diputuskan ditunggu 1 tahun kemudian, untuk sementara hanya observasi dan obat. Dari kelompok tersebut, sekitar 30% diantaranya tidak jadi menjalani operasi karena kondisi tonsilnya membaik. Salah satu alasan pembatalan operasi adalah terjadi resolusi (pengecilan) tonsil yang semula membesar.

Tahun 2004 kemarin, seorang dokter THT di UNS Solo menulis disertasi tentang profil imun akibat tonsilektomi pada anak-anak, dan memang tidak mendapatkan perbedaan antara kelompok yang menjalani tonsilektomi maupun yang tidak. Namun memang ini pun sifatnya baru jangka pendek, belum bisa kalau jangka puluhan tahun ke depan misalnya.

Berikut pendapat saya.

Pada prinsipnya, selalu diusahakan jalan dengan terapi obat, sebelum terpaksa menjalani operasi. Untuk itu ada baiknya diusahakan menunggu sampai memasuki usia sekolah (sekitar 7-12 tahun). Pertimbangannya:

  1. Pada usia balita sering karena virus. Semakin bertambah umur, baru kemungkinan bakteri lebih tinggi. Makin besar, makin bertambah usianya, paparan patogen juga makin banyak karena mobilitasnya juga makin tinggi dan beragam.
  2. Adanya kemungkinan terjadi resolusi (pengecilan) dari tonsil yang sudah membesar.
  3. Pada masa-masa sekolah ini lebih mudah dinilai, apakah adanya pembesaran tersebut menimbulkan gangguan signifikan terhadap kualitas hidup anak : hambatan bernafas, hambatan menelan, mudah mengantuk(karena hipoksia oleh gangguan aliran udara nafas), sering tidak masuk sekolah karena radang tonsil, yang semua itu bisa berpengaruh terhadap prestasi belajarnya.

Bila akhirnya terpaksa menjalani operasi, setelah operasi perlu diperhatikan:

  1. Operasi berlangsung sekitar 30-60 menit dengan anesthesi umum. Setelah operasi di pagi hari, anak biasanya tertidur sampai sore hari.
  2. Segera setelah sadar dan diijinkan, anak sebaiknya mendapat banyak minum dalam 24 jam pertama. Jangan minum yang bersifat asam seperti jus jeruk atau anggur, karena akan menambah perih lukanya. Juga jangan diberi minum berkarbonat.
  3. Kadang anak muntah setelah operasi. Bila hanya 1-2 kali dan berwujud makanan biasa tidak masalah. Bermasalah bila lebih sering atau warnanya coklat tua atau berupa darah. Bawalah ke dokter.
  4. Mulai hari ke 2-3 bisa diberikan makanan lunak seperti jelly, agar-agar, puding, sup hangat atau es krim. Bisa terlihat bercak putih-putih di bekas tempat amandel. Hal ini biasa, seperti juga proses penyembuhan luka di tempat lain.
  5. Masuk hari 4-5 boleh mulai makan biasa, tetapi menghindari makanan yang berwujud kasar agar tidak memancing perdarahan.
  6. Selama 1 minggu paska operasi, anak tidak masuk sekolah untuk menghindari paparan infeksi. Setelah menjalani kontrol ke RS dan dinyakan tidak ada masalah, boleh mulai masuk sekolah lagi.
  7. Mungkin terdengar suara anak berubah pada 1-2 minggu paska operasi. Hal ini terjadi karena ada "ruang baru" di bagian faring. Setelah otot-otot sekitarnya pulih, suaranya akan kembali pulih.

Panduan diet tersebut bersifat umum, biasanya dokter THT akan memberi rincian tersendiri setiap kali menjalani tonsilektomi.

Ada yang bilang "berkumur air garam". Yang terjadi dengan berkumur air garam adalah bersifat membersihkan dan merubah kondisi di permukaan tonsil agar tidak kondusif untuk bakteri. Apakah bisa mengecil? Bila mampu meredakan/menghilangkan infeksinya, perlahan tonsil akan mengecil. Atau memang tingkat infeksi bisa diturunkan, dan tonsil menyusut sesuai pertambahan usia (melewati masa puncak pembesaran tonsil). Tetapi bila memang "gempuran" infeksi juga sering, bisa saja tidak membantu.

Semoga tidak bingung lagi ...

08 April 2006

My worsening English

The worst thing if I may refer to while being blessed with the scholarships in this such high-standard, developed but yet changing country of Japan is my worsening English. It is really getting worse and worse.

Claiming that my English was that good might sounds hyperbolic but indeed it is becoming too bad nowadays. Using English in writing as well as verbal communications is something awful in my present life among my Japanese community. Speaking English as it is supposed to be frequently resulted in a lag of conversation. Then I reluctantly had been using a broken English to ensure mutual understanding. Attending an international conference with English as the formal language or a national meeting with a few English-speaking speakers, were really blessing occasions for me.

A few weeks ago, I complained of my bad English spelling. So bad, that I was really loosing my confidence just to write an English posting in mailing-list community.

The worst experience came when my manuscript was being checked by a professional but yet Japanese company offering service in English-check. Oh God, they suggested so many revisions I should make. I was really shocked then. Am I that bad?

Well, man is not supposed to give up then. Recent weeks, I decided to loosen some tights of my expenditure management and made a little bit increases of budget for enjoying leisure time in watching some English movies.

The first movies just made me in a deeper blue, since I was so surprised to be that fool in understanding what they were really saying. Having the English subtitle being displayed in a few of them -­ they are Japan market targeted DVDs -­ helped me to recall my "intuition" of English.

Until then, I tried to read again my manuscript and the revisions the company had suggested. Well, being honest, the basic problem was the difference in the style of English I was using and their way to view it. It really healed a lot of the pain of my pride.

Now, in re-building up my confidence I tried to write this in my blog. I write it to ease my doubtness and in a hope that you all will be so honest just to call any mistake I still made without any hesitancy.

So, please be my guests to raise any suggestion. Thanks a lot.

07 April 2006

Antibotika untuk sore-throat?

Sore throat atau faringitis, sering kita alami. Statistik menunjukkan 90% faringitis pada anak-anak, penyebabnya virus. "Virus kan tidak ada obatnya" sering terlontar (semoga menjadi lebih jelas di tulisan lain tentang pernyataan tersebut).

Karena masih ada kemungkinan 10% oleh bakteri, pertanyaan berikutnya : kapan harus menggunakan antibiotika? Jawaban paling tepat : lakukan tes kultur, bila positif, lakukan tes sensitivitas, beri antibiotika sesuai hasilnya. "Kalau tidak diberi antibiotika, bagaimana?" Risiko dari faringitis akibat bakteri pada anak-anak yang tidak terobati tuntas ada dua tipe. Pertama, tipe supuratif yang membentuk pus (nanah) bisa menjalar ke peritonsillar abscess, cervical lymphadenitis, and mastoiditis. Kedua tipe non-supuratif yaitu penyakit demam rheumatik terutama di jantung dan persendian.

Wah, bahaya dong! terus gimana? Harus periksa lab terus?

Masalahnya, tidak semua pasien memiliki sumber daya ke laboratorium. Juga, betapa pengeluaran kesehatan akan berlipat kalau seperti itu.

Untuk itu, mari kita buka sedikit dapur kerja dokter. Tentu, dokter pun tidak lantas tergesa-gesa semua kasus faringitis harus dilakukan tes laboratorium. Sebaliknya, dokter juga tidak seharusnya terburu-buru memberi antibiotika tanpa dasar, karena risiko resistensi.

Lantas bagaimana?

Bakteri yang paling sering menimbulkan faringitis dan berisiko ke demam rheumatik adalah Group A Beta Hemolyticus Streptoccocus (GABHS). Karena itu, sore-throat yang disebabkan oleh GABHS disebut "strep-throat". Secara klinis tanda-tanda yang sering menyertai strep-throat adalah:

1. Rasa nyeri di sekitar tenggorokan, disertai oleh nyeri saat menelan.
2. Tonsil (amandel) membesar dan memerah, kadang disertai detritus/bercak.
3. Kelenjar limfe di leher membengkak
4. Demam
5. Sakit kepala
6. Biasanya tidak disertai batuk.
7. Onset cepat, tidak didahului oleh batuk/pilek.
8. Kadang disertai juga sakit di perut, bisa sampai muntah

Selanjutnya, ada panduan yang disebut : Strep Score untuk menilai kemungkinan infeksi GABHS. Ada 4 kriteria dasar :

1. Eksudat di tonsil (kelenjar di faring dekat kelenjar adenoid, yang kalau membesar terjadi amandel)
2. Ada pembengkakan kelenjar limfe cervical (gampangnya, di kanan-kiri leher, dari bawah telinga, bergerak di tepi dalam tulang rahang bawah).
3. Tidak ada batuk
4. Dengan demam

Untuk setiap kriteria yang tepat, bernilai +1. Interpretasi nilai dan probabilitas infeksi bakteri Streptococcus bila diperiksa di kamar dokter (risiko lebih tinggi kalau diperiksa di RS) :

1. Score 0 : 1% (3%)
2. Score 1 : 4% (8%)
3. Score 2 : 9% (18%)
4. Score 3 : 21% (38%)
5. Score 4 : 43% (63%)

Pilihan terapinya :
1. Score 4 (atau 2 bila pasien kurang kooperatif/meragukan) : langsung antibiotika.
2. Score 2-3 : tes dengan rapid (bila tersedia) atau kultur/throat swab.
3. Score 0-1 : cukup terapi simptomatis/home treatment.

Dokter tentu memiliki acuan dari laporan penelitian dan pengalaman klinis untuk menentukan terapi antibiotiak empirik meski tidak dengan pemeriksaan laboratorium seperti pada hasil Strep Score 4.

Ada beberapa modifikasi terhadap Score ini, misalnya menyertakan kriteria usia :

1. Kurang dari 15 : +1 poin
2. Antara 15 - 45 : 0 poin
3. Lebih dari 45 : -1

Ada juga acuan lain Centor Score
:

1. Suhu badan > 38 derajat celcius
2. tidak ada batuk
3. Pembengkakan kelenjar limfe
4. Pembengkakan tonsil atau eksudat
5. Patokan umur : 3-14 tahun 1 poin; 15-44 tahun 0 point dan lebih dari 45 tahun -1

Kalau nilainya 4 atau lebih, langsung terapi antibiotika. Nilai 2-3 dilakukan tes laboratorium.

Ada juga faktor adanya riwayat kontak dengan penderita faringitis (mungkin di rumah). Juga memperhitungkan faktor prevalensi infeksi streptoccocus di wilayah setempat dan periode tertentu.

Mengapa kadang kok dokter tidak persis seperti Strep Score tersebut? Tentu saja, Strep Score ini adalah panduan umum. Dokter tetap melakukan analisa lebih lengkap berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik lainnya. Misalnya riwayat sebelumnya memang sering faringitis, tentu dokter akan lebih hati-hati. Ada sifat alergi, adanya penyakit lain, tentu membuat dokter lebih hati-hati pula.

Di samping risiko demam rheumatic, ada pula risiko post-streptococcal glomerulonephritis (infeksi ginjal paska infeksi streptococcus di saluran nafas bagian atas). Untuk itu dokter mungkin menanyakan pula riwayat faringitis sebelumnya, dan tanda-tanda ke arah gangguan di ginjal. Hal ini juga menjadi pertimbangan.

Yang penting ditekankan, sebelum ke dokter untuk faringitis, persiapkan data-data yang mendukung. Misalnya peta demam atau alur perjalanan demam : mulai kapan, naik turun atau terus tinggi, adakah muntah, adakah batuk dan sebagainya (untuk anamnesis).

Dengan mengetahui strep score ini, orang tua akan bisa berdiskusi lebih jauh dengan dokternya, agar keputusan terapi yang dicapai bisa diterima dengan sepenuhnya. Jangan sampai kita pulang dari dokter masih dengan keraguan.